17 April 2008

Bisnis 16-Apr-08: Jatim Minta HPP Kedelai Rp 6000/kg


Agribisnis
Rabu, 16/04/2008
BUDI DAYA
Jatim minta HPP kedelai Rp6.000/kg
SURABAYA: Dinas Pertanian Jatim mengusulkan kembali kepada pemerintah agar menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk kedelai di tingkat petani Rp6.000/kg guna meningkatkan volume panen komoditas tersebut.

Harga kedelai lokal di Jatim saat ini hanya berkisar Rp3.000-Rp4.000 per kg, di mana tingkat harga sebesar itu mengakibatkan petani rugi. Hal itu berdampak menurunnya areal pembudidayaan kedelai di provinsi tersebut menjadi hanya 199.493 hektare dengan volume panen rata-rata 1,3 ton per hektare pada 2007.

Subsidi harga kedelai nasional Rp500 miliar tidak menyentuh petani dan tidak berdampak terhadap perluasan areal kedelai.

Kepala Subdin Penyusunan Program Dinas Pertanian Jatim, Kusdirianto, mengakui petani di provinsi itu sejak beberapa tahun terakhir kurang bergairah membudidayakan kedelai. (Bisnis/k22)

© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.

05 March 2008

Bisnis 3-Mar-08: Swasembada kedelai diragukan

Senin, 03/03/2008

BUDI DAYA
Swasembada kedelai diragukan

PACITAN: Deptan pesimistis mampu swasembada kedelai nasional pada 2011, menyusul semakin berkurangnya lahan untuk tanaman kedelai dan minat petani untuk menanam komoditas tersebut.

Dirjen Tanaman Pangan� Deptan, Sutarto Alimoeso mengatakan luas lahan tanaman kedelai di negeri ini semakin berkurang, yakni mencapai 1,6 juta hektare (ha) pada 1995 dan kini luas lahan menjadi 600.000 hektare.

Menurutnya, untuk mengembalikan luas lahan kedelai yang beralih fungsi membutuhkan waktu hingga lima tahun, padahal produksi kedelai saat ini hanya mencapai 1,3 ton per ha.

"Kebutuhan kedelai kita saat ini mencapai 1,8 juta ton hingga dua juta ton per tahun, sementara hasil produksi komoditas tersebut baru mencapai 1,3 ton per hektare. Untuk mengembalikan luas lahan kedelai, butuh waktu hingga lima tahun,"� katanya dalam penanaman perdana kedelai hitam di Pacitan, Jatim.

Dia menambahkan persoalan turunnya produksi kedelai saat ini adalah rendahnya harga kedelai di tingkat petani.

"Mereka sudah biasa dengan harga yang murah jadi tidak menanam kedelai lagi karena minimnya keuntungan, bahkan ketika harga kedelai melambung, petani tidak bisa menikmatinya," ujarnya. (Bisnis/k42)

bisnis.com

Kompas 27-Feb-08: Ampas Tahu Jadi Biogas

Ampas Tahu Jadi Biogas
KOMPAS/HERU SRI KUMORO / Kompas Images
Nyonya Budi (35) memasak menggunakan kompor biogas di Dukuh Kanoman, Desa Gagaksipat, Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (26/2). Energi biogas dialirkan dari bak yang berisi limbah cair sisa pembuatan tahu.

Rabu, 27 Februari 2008 | 03:47 WIB

Sumidi (45) sibuk memaku sabuk dari ban di tengah suasana bising dan hawa panas pabrik tahu di Dusun Kanoman, Desa Gagaksipat, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Senin (25/2) siang. Sabuk itu adalah salah satu bagian dari alat produksi tahu yang rusak.

Sejurus kemudian sang istri, Wastini (40), melintas. Siang itu ia sudah selesai masak. Ia tidak lagi cemas soal harga minyak tanah yang mahal dan sulit dicari. Wastini sekarang memasak menggunakan gas. Bukan gas hasil pembagian program konversi minyak tanah ke gas, melainkan dihasilkan dari proses pengolahan limbah pembuatan tahu dari pabrik tahu milik suami. Sudah tentu, gratis.

”Biasanya, sehari habis dua liter minyak tanah. Sekarang bisa masak sepuasnya, kapan saja, dengan gas gratis. Uang beli minyak untuk menambah uang jajan anak sekolah,” ungkapnya.

Bukan hanya Wastini yang menikmati gas gratis. Dua rumah tangga lainnya juga menikmati biogas limbah tahu dari pabrik tahu Sumidi. ”Sebenarnya bisa untuk lima rumah. Kalau ada tetangga yang mau pakai gas, kami persilakan. Namun, harus menyediakan sendiri kompor dan pipa penyalur gas,” tutur Sumidi.

Sumidi boleh bersenang hati karena terpilih sebagai penerima bantuan pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) biogas dari Pemerintah Kabupaten Boyolali. Dengan biaya sekitar Rp 40 juta, di belakang rumahnya dibangun semacam sumur sedalam lima meter dan bangunan bertutup bulat seperti tempurung kelapa yang hampir rata tanah dan berkedalaman dua meter. Instalasi ini untuk mengolah air limbah secara sederhana. Di samping sumur, terdapat pipa penyalur gas yang dihasilkan dari limbah tahu.

”Saya hanya menyediakan tanah 10 x 10 meter persegi untuk tempat instalasi. Sebenarnya ini bisa buat dua pabrik, tetapi karena jarak pabrik berjauhan, sulit dilakukan,” ujar Sumidi.

Perajin tahu lainnya, Budi Amiarso, juga gembira menerima bantuan IPAL biogas lima bulan lalu. Ada lima rumah yang memanfaatkan biogas limbah tahunya untuk memasak dan menyalakan petromaks.

”Biasanya lima liter minyak habis untuk tiga hari. Sekarang 15 hari belum tentu habis,” kata Haryono, kakak Budi yang juga memanfaatkan biogas.

Ia juga memanfaatkan biogas untuk menyalakan petromaks. Namun, petromaks biogas hanya digunakan bila listrik padam.

Selain menghasilkan biogas, limbah akhir yang dihasilkan lewat IPAL biogas tidak berbau dan lebih cair. Perajin tahu biasanya membuang limbah pembuatan tahu tanpa diolah ke sungai ataupun ke selokan yang berakhir di persawahan.

Sebenarnya keluhan warga sekitar bukan tidak muncul terhadap limbah tahu yang dibuang begitu saja. Namun, karena sebagian besar warga mendirikan usaha pembuatan tahu, kondisi itu seperti dimaklumi.

Sayangnya, teknologi IPAL biogas ini makan biaya besar sehingga sulit dijangkau perajin yang kebanyakan berskala usaha rumah tangga. Padahal, mereka berminat menerapkan model IPAL biogas yang lebih ramah lingkungan dan bermanfaat. (Sri Rejeki)

Agro Observer Jun-07: Kecap Zebra Bertahan 61 Tahun


KECAP ZEBRA BERTAHAN 61 TAHUN

Di tengah gerusan persaingan keras dari kecap merk lain yang dimiliki perusahaan besar, kecap Zebra mampu bertahan selama 61 tahun. Ini merupakan hasil kombinasi antara kepiawaian mengelola bisnis dan keteguhan hati untuk memiliki sendiri sebuah usaha tanpa tergiur rayuan permodalan besar.

Oleh: Irwan Yudha Putra

Sebagian besar masyarakat Bogor dipastikan mengenal kecap ini. Pasalnya memang kecap merek Zebra sudah lama diproduksi dan sudah akrab di lidah orang Bogor, terutama buat masyarakat golongan menengah kebawah.

Pabrik kecap Zebra berdiri tahun 1945 dan didirikan oleh Soedjono yang berasal dari Juana – Pati Jawa Tengah. Ia mendirikan usaha ini berbekal keahlian dalam membuat kecap yang diperoleh secara turun temurun tradisi dari orang tuanya. Pada waktu itu Soedjono hanya memiliki kurang lebih 10 orang karyawan dengan tempat usahanya berupa sebuah rumah yang berlokasi di desa Gunung Batu Bogor.

Produk awal yang diluncurkan bermerk Badak. Namun umur kecap Badak tersebut hanya bertahan 5 tahun. belum adanya paten merek Badak dan adanya persaingan tidak sehat menyebabkan usaha ini pada awal-awalnya sempat mengalami kerugian, bahkan merek Badak pernah dipalsu kan. Tahun 1960 kecap Cap Badak diganti merknya dengan Cap Zebra dan dipatenkan langsung pada waktu itu. Sejak saat itu hingga sekarang merek yang dipakai adalah Zebra.

Proses produksi kecap Zebra baik fermentasi, pengolahan maupun pengemasan masih tradisional, bahan baku utama yang digunakan yaitu kedelai difermentasikan selama 1 bulan untuk selanjutnya diolah menjadi kecap. Bahan lain yang paling banyak diperlukan adalah gula kelapa. Dari 3 ton kedelai dan 2 ton gula merah dapat dihasilkan 200 hingga 300 lusin kecap dalam botol 620cc.


Harga yang ditetapkan cukup bersaing dengan harga yaitu Rp.6.600 per botol. Dari segi kemasan produknya, cukup rapih, bagian tutupnya memiliki label standar untuk melindungi dan membedakan mana yang masih baru dan mana yang sudah pernah dibuka. Label mereknya sederhana, hanya sebatas warna hitam dan putih dan memiliki keterangan pengesahan dari Departemen Kesehatan. Dalam label merek juga dicantumkan komposisi dari kecap itu sendiri yaitu Kacang Kedelai, Gula Kelapa, Garam, Air, Bumbu dan pengawet yaitu Natrium Benzoat. Berat bersih kecapnya mencapai 620 ml.

Kendala Pemasaran. Untuk pemasaran sampai sekarang pengelola belum berani memperluas sampai Jakarta karena tidak memiliki permodalan yang kuat apalagi dalam hal promosi. Untuk pemasaran dari awal berdiri hingga sekarang meliputi daerah Bogor saja seperti pasar Bogor, pasar Anyar, sampai pasar Cileungsi, “ Promosi pernah kami lakukan, tappi ya itu kalah, kalah bersaing dengan kecap-kecap lain, y karena kalah modal untuk promosi itu,” tutur kata Djoko Pramono, manajer operasional pabrik kecap Zebra.

“ Promosi pernah kami lakukan, tapi ya itu, kalah bersaing dengan kecap-kecap lain, ya karena kalah modal untuk promosi itu.”

Pernah sempat dicoba untuk memperluas pemasaran tetapi kurang berhasil. Promosi yang dilakukan kalah bersaing dengan merek-merek kecap lainnya yang memberikan bonus, hadiah dan lain sebagainya. Promosi yang dilakukan selama ini masih bersifat dari mulut ke mulut antar pelanggan, penawaran langsung dari pengelola kecap Zebra kepada pemilik rumah-rumah makan, pedagang kaki lima dan industri makanan yang ada di kota Bogor. Segmen pasarnya adalah industri penyedia makanan siap saji di Bogor.

Omzet yang dihasilkan dari home industry ini tidak begitu besar namun cukup untuk menghidupi para tenaga kerjanya yang berasal dari penduduk yang bertempat tinggal disekitar pabrik. Perputaran modal yang dihasilkanpun sifatnya masih kecil. Home industri ini sering mendapat kerugaian akibat dampak dari perubahan harga bahan baku kedelai yang cukup fluktuatif. Pada saat harga bahan baku meningkat, harga produk tidak dapat dinaikkan begitu saja tetapi jumlah produksi dikurangi untuk menekan kerugian. “Pasaran bisa turun 10%” kata Djoko.

Pada waktu krisis ekonomi, imbasnya juga dirasakan oleh kecap Zebraini. Rugi tahunan pernah terjadi pada tahun 1990 an. Namun, karena keuletan para pengelolanya, kecap Zebra dapat terus bertahan hingga sekarang. Kiat dari kecap Zebra untuk bisa terus bertahan adalah menjaga mutu, harga dan pelayanan. Penerimaan masyarakatpun sudah cukup luas dan kecap Zebra pun dikenal hingga sekarang.

Ketika ditanya mengenai rencana kedepan dari para pengelolanya, dari jawaban yang diberikan dapat ditarik kesimpulan bahwa kecap Zebra ini akan diteruskan sebagai home industry. “ Yah mungkin dijadikan suatu warisan keluarga terus menerus.” Kata Djoko.

Untuk permodalan kecap Zebra meminjam dari Bank BNI. Pinjaman yang dilakukan dipergunakan untuk oprasional dan mengantisipasi pengurangan modal akibat dampak kenaikan harga bahan baku. Pemerintah daerah Bogor dari selama jalannya usaha ini pernah membantu tetapi hanya sebatas penyuluhan.

Pabrik kecap Zebra berlokasi di daerah Ciampea Bogor, dekat pondok pesantren Darussolihin. Luas pabrik serta kantornya sebesar 50 x 30 m2 yang terdiri dari bangunan kantor, bangunan tempat fermentasi, bangunan tempat pengolahan kecap seluas 10 x 5 m2 , bangunan tempat pengemasan kecap serta bangunan tempat parkir kendaraan. Sebelum memasuki pintu gerbang, pemandangan di luar lokasi pabrik cukup indah karena terhampar lahan sawah yang subur. Ciampea juga termasuk daerah pertanian di Kabupaten Bogor.

Agro Observer, Juni 2007, p56-57.

Kompas 3-Mar-08: Harga Kedelai Naik Lagi (Bandar Lampung)

Harga Kedelai Naik Lagi
Pemerintah Belum Merealisasikan Subsidi
Kompas/Helena F Nababan / Kompas Images
Bejo, perajin tempe di Gunung Sulah, Sukarame, Bandar Lampung, mencampur biji kedelai yang sudah direbus untuk segera diberi ragi di tempat usaha miliknya, Sabtu (1/3). Sudah hampir empat hari ini perajin tahu dan tempe kembali mengeluhkan kenaikan harga kedelai.

Senin, 3 Maret 2008 | 02:30 WIB

Bandar Lampung, Kompas - Perajin tahu dan tempe di Bandar Lampung kembali mengeluhkan kenaikan harga kedelai, dari sebelumnya Rp 6.600 per kilogram menjadi Rp 7.000. Perajin mendesak pemerintah untuk segera menyalurkan subsidi kedelai yang sudah direncanakan.

Pemantauan Kompas di sentra perajin tahu dan tempe di Bandar Lampung, Sabtu (1/3), menunjukkan, harga kedelai merambat naik lagi sejak Rabu pekan lalu. Para perajin tetap berupaya mempertahankan produksi, tetapi dengan jumlah kedelai yang terus berkurang.

Suyitno, perajin tempe di Gunung Sulah, Kecamatan Sukarame, mengatakan, pada Januari 2008, saat harga kedelai naik menjadi Rp 7.000 per kilogram (kg), ia sudah menurunkan jumlah kedelai yang diolah. Sebelumnya ia mampu mengolah 100 kg kedelai, lalu menjadi 80 kilogram. Dalam sepekan ini Suyitno setiap hari hanya mampu mengolah 50-60 kg kedelai.

”Pada saat harga kedelai naik saya tidak bisa menaikkan harga tempe. Konsumen tetap menginginkan harga Rp 800 dan Rp 1.200,” katanya.

Ketua I Koperasi Perajin Tahu Tempe Indonesia (Koptti) Bandar Lampung Alim S mengatakan, tingginya harga kedelai yang dihadapi perajin sebetulnya bisa dibantu melalui subsidi pembelian Rp 1.000 per kg. Namun, pemerintah belum merealisasikan subsidi tersebut.

Menurut catatan Koptti Bandar Lampung, kenaikan harga kedelai menyebabkan 75 perajin tahu dan tempe serta 75 perajin lain menjadi buruh bangunan.

Naik semua

Selain kedelai, harga hampir semua kebutuhan pokok di sejumlah daerah ikut naik. Salah satu penyebab terjadinya kenaikan harga adalah tersendatnya pasokan.

Gara-gara pasokan dari Sumatera Selatan tersendat, harga cabai merah di Pasar Angsoduo, Kota Jambi, misalnya, melonjak, dari Rp 12.000 per kg menjadi Rp 20.000. Pada pagi hari harga cabai merah bahkan sempat menjadi Rp 25.000 per kg. Harga daging sapi yang sebelumnya Rp 55.000 per kg naik menjadi Rp 60.000.

Kenaikan harga sayur juga terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di Pasar Naikoten, misalnya, harga sawi putih naik dari Rp 10.000 per kg naik menjadi Rp 13.000, kangkung Rp 3.000 (sebelumnya Rp 2.000) per ikat, bawang merah Rp 20.000 (dari Rp 15.000), dan kacang panjang Rp 3.000 (dari Rp 2.000) per ons.

Harga minyak goreng tidak ketinggalan terus naik, seperti yang terjadi di Padang (Sumatera Barat), Medan (Sumatera Utara), Magelang (Jawa Tengah), dan Yogyakarta. (HLN/ITA/WSI/ART// WKM/EGI/A08/KOR)

Kecap Cap Zebra - Ini Zebra Jantan atau Betina


Tebak, ini zebra jantan atau betina? Cara membedakannya, tanpa melihat genital, adalah dari pola garis. Kulit zebra jantan berlatar putih dengan garis hitam, sedangkan zebra betina sebaliknya. :D

Tak jelas mengapa pabrik kecap di Bogor ini memilih zebra sebagai merek. Mungkin untuk menonjolkan keistimewaan sebagai “kecap istimewa”: berbeda dari yang lain. Tapi misalkan mobil promosinya dicat model zebra, bisa-bisa akan disangka mobil patrolinya Taman Safari Indonesia.

Cukup tampil dengan dua warna, hitam (tinta) dan putih (kertas), label kecap cap Zebra terlihat kuat. Khusus untuk label yang menjadi sabuk botol, logoya diberi efek bersinar.


http://label.blogombal.org/2007/03/01/kecap-bergaris/

1 Maret 2007

26 February 2008

Kompas 26-Feb-08: Kupon Subsidi Kedelai Tunggu Penetapan APBN-Perubahan

Ketahanan Pangan
Kupon Subsidi Kedelai Tunggu Penetapan APBN-Perubahan
Selasa, 26 Februari 2008 | 01:42 WIB

Jakarta, Kompas - Kupon atau voucher subsidi kedelai yang dijanjikan pemerintah belum bisa segera disalurkan kepada perajin tempe dan tahu. Penyaluran subsidi pembelian kedelai masih harus menunggu penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan atau APBN-P.

Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Departemen Perindustrian Fauzi Azis di Jakarta, Senin (25/2), mengatakan, dari hasil evaluasi Kantor Menteri Koordinator Perekonomian hari Minggu lalu, pemerintah mencermati kecenderungan harga komoditas di pasar dunia, seperti kedelai, minyak goreng, dan tepung terigu.

Pemerintah menilai, sejak kebijakan penurunan bea masuk dan pajak ditanggung pemerintah diterapkan, harga beberapa komoditas pangan relatif stabil. Tidak mengalami penurunan, tetapi juga tidak melonjak di luar dugaan pemerintah.

Fauzi menjelaskan, untuk komoditas kedelai, kuasa penggunaan anggaran (KPA) diserahkan ke Departemen Perindustrian. Secara teknis, pihaknya sedang mempersiapkan teknis penyaluran subsidi itu.

”Pembelian kedelai dengan sistem kupon ini diperkirakan akan berlangsung selama enam bulan. Mudah-mudahan bisa dimulai bulan Maret, setelah penetapan APBN-P dipercepat,” ujarnya.

Secara garis besar, menurut Fauzi, kupon subsidi senilai Rp 1.000 per kilogram akan diberikan langsung kepada perajin berbasis kedelai. Jumlah perajin yang mendapatkan kupon dihitung berdasarkan survei Badan Pusat Statistik.

”Jumlah perajin tahu-tempe seluruh Indonesia sekitar 115.000 orang, antara lain di Provinsi Sumatera Utara, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Subsidi itu hanya akan diberikan kepada skala usaha mikro, yaitu perajin yang menggunakan kedelai sebanyak 100 kilogram atau kurang per hari,” jelasnya.

Secara teknis, kupon akan dibagikan melalui dinas perindustrian di setiap daerah. Sesuai koordinasi pemerintah pusat, pemerintah daerah menetapkan lokasi penjualan dan beberapa pedagang yang siap menjual kedelai dengan sistem kupon.

Artinya, jika kedelai dijual seharga Rp 6.500 per kilogram, perajin tahu-tempe hanya membayar seharga Rp 5.500 plus menyerahkan kupon potongan harga tersebut. Kemudian, kupon-kupon yang terkumpul bisa segera ditukarkan ke bank yang ditunjuk pemerintah, misalnya, Bank Rakyat Indonesia.

Tak ada alasan menunda

Menanggapi lambannya pencairan subsidi kedelai, Sekretaris Jenderal Induk Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Inkopti) Untung Suparwo menyatakan sebenarnya tidak ada lagi alasan pemerintah menunda- tunda pencairan subsidi. Penundaan pencairan hanya membuat perajin tempe-tahu kecewa.

”Sebelumnya sudah ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah serta perajin terkait pemberian subsidi, jadi tidak ada alasan terus menunda,” katanya.

Semakin lamban pencairan dana subsidi, makin memberatkan produsen tempe-tahu. Akibat buruknya produsen bisa kembali mengecilkan volume produk, mem-PHK para pekerja, dan sampai tahap bangkrut.

Untung juga mengatakan bahwa selain perlunya subsidi harga, perajin tempe-tahu juga mendesak pemerintah menstabilkan harga kedelai. Selama ini harga kedelai sepenuhnya tergantung dari harga di pasar dunia. Ketika harga kedelai internasional berfluktuasi, perajin tempe-tahu kalang kabut karena sulit menjual produk dan membeli bahan baku lagi. (OSA/MAS)