31 January 2008

Kompas 31-Jan-08: Baihaki, Kedelai dan Kontrak Hidup Miskin

Baihaki, Kedelai dan Kontrak Hidup Miskin
KOMPAS/YENTI APRIANTI / Kompas Images
Prof Dr Achmad Baihaki
Kamis, 31 januari 2008 | 01:48 WIB

Yenti Aprianti

Pada masa mudanya, Prof Dr Achmad Baihaki (73) pernah makan ”daging babi”. Tetapi daging itu halal buat orang Muslim sebab tidak berasal dari hewan babi, tetapi dari kedelai. Tak hanya ”daging babi”, dia juga pernah makan ”daging sapi”, ”daging ayam”, dan ”es krim”. Semuanya berbahan kedelai.

Baihaki mengonsumsi makanan tiruan dari kedelai tersebut pada tahun 1971 hingga 1978. Saat itu dia tengah kuliah tingkat magister dan doktor bidang plant breeding atau pemuliaan tanaman di University of Minnesota, Amerika Serikat.

Ketika itu AS sudah mampu membuat makanan tiruan seperti itu. Meski sama-sama terbuat dari kedelai, tetapi rasa, aroma, tekstur, bentuk, dan warna makanan tersebut bisa seperti makanan aslinya. AS juga sudah memproduksi makanan dari kedelai seperti tempe, tahu, tauco, dan berbagai kue, bahkan kosmetik.

Sejak tahun 1970-an AS sangat serius di bidang pertanian dan industri kedelai. Saat itu mereka sudah menargetkan tahun 2002 akan menguasai perkedelaian dunia. Target itu dipancang berdasarkan penelitian America Soybean Association bahwa kedelai akan menjadi ”emasnya tanah” (the gold of soil) dan sumber protein masa depan dunia (the future protein of the world).

AS meningkatkan pertanian kedelai tidak hanya untuk kebutuhan pangan, tetapi juga guna membuat biofuel atau bahan bakar dari minyak nabati sebagai antisipasi makin terbatas cadangan dan mahalnya harga bahan bakar minyak bumi. Saat itu AS menargetkan menaikkan produktivitas dari 2,2 ton kedelai per hektar menjadi 3,8 ton per hektar. Pada tahun 2007 negara itu sudah berhasil memproduksi 1,8 juta ton biofuel dari kedelai dan jagung.

Kedelai dan lingkungan

Sejak mendalami bidang pertanian, Baihaki sudah menyadari pentingnya sumber protein bagi keberlangsungan sebuah bangsa. Dia masih ingat, pada masa kecilnya kehidupan sehari-hari begitu sulit setelah Perang Dunia II. Orangtuanya membagi sebutir telur untuk enam anaknya. Maka, hanya sesendok telur itulah sumber protein termewahnya.

Baihaki mendapatkan kesempatan meneruskan sekolah di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada 1955. Semasa kuliah pada tahun 1959, dia juga menjadi asisten dosen di Universitas Padjadjaran. Setelah lulus dari Universitas Indonesia tahun 1962, Baihaki langsung mengabdikan diri di Universitas Padjadjaran.

Tahun 1971 dia kuliah tingkat magister dan doktor di bidang pemuliaan tanaman di AS. Pada tingkat magister, Baihaki memilih mendalami tanaman jagung. Namun ternyata dia alergi terhadap tepung sari jagung. Saat mengawinkan jagung, tangannya bengkak dan terus bersin. Karena alergi itulah, pada tingkat doktor ia memilih mendalami sumber protein kedelai.

Sebelum kembali ke Indonesia, Wakil Presiden University of Hawaii menawarinya pekerjaan sebagai plant breeder (ahli pemuliaan tanaman). Di luar negeri, bidang pemuliaan tanaman sangat dibutuhkan. Orang yang mendalaminya bakal kaya. Namun Baihaki menolak. Sejak berangkat dia sudah membuat kontrak ”hidup miskin” sebagai ahli pemuliaan tanaman di Indonesia. Keinginannya adalah mengembangkan keanekaragaman hayati negeri ini.

Ia membuktikan keputusannya dengan meneliti kedelai. Beberapa varietas kedelai baru sudah dihasilkan. Varietas itu disesuaikan dengan lingkungan tempat kedelai ditanam. Ada kedelai untuk lahan pinggir sungai, lahan tergenang air, dekat pantai, lahan kering, lahan subur, dan lainnya. Dengan varietas yang disesuaikan dengan lingkungan, Indonesia sesungguhnya bisa memproduksi kedelai secara optimum dan sulit disaingi negara lain.

”Negara lain bisa membuat bibit tanaman, tetapi kalau tidak spesifik dengan lingkungan, hasilnya tidak akan optimum,” katanya.

Hukum kedelai

Berkat penelitian, produktivitas kedelai Indonesia yang pada 1960-an hanya 30 kilogram per hektar kini bisa mencapai 3 ton per hektar. Dua varietas yang dihasilkan Baihaki, yaitu Manglayang dan Arjasari, rata-rata menghasilkan lebih dari 3 ton per hektar, menyamai rata-rata produktivitas kedelai AS.

Bahkan, dengan pemuliaan pernah dihasilkan 2 ton kedelai per hektar di lahan pinggir Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Jika lahan pinggir waduk itu luasnya 150.000 hektar, berarti saat panen bisa dihasilkan 300.000 ton kedelai.

”Dari pinggir Waduk Jatiluhur saja bisa dihasilkan kedelai melebihi kebutuhan Jawa Barat,” ucapnya.

Kebutuhan kedelai Indonesia sebesar 1,8 juta ton per tahun. Tahun 2002 Indonesia mampu menghasilkan 1,6 juta ton, tetapi pada 2007 merosot menjadi 600.000 ton. Ini bukti minimnya perhatian pemerintah terhadap dunia pertanian yang justru oleh negara besar dijadikan mesin pembangunan.

”Indonesia seharusnya memiliki kebijakan perkedelaian juga bidang pertanian lain dengan konsisten. Kalau ganti pejabat, kebijakan jangan ikut ganti,” tuturnya saat ditemui di rumahnya di kawasan Bukit Dago Selatan, Kota Bandung, pertengahan Januari lalu.

Ketidakperhatian pemerintah tampak dari sedikitnya varietas kedelai di negeri ini. Indonesia hanya punya sekitar 100 varietas, sementara China memiliki 3.000 varietas kedelai. Kedelai asal China itu menyebar ke berbagai negara. Varietas dari China itu masuk ke Indonesia pada abad XVIII dan tetap dikenal hingga kini.

Baihaki mengatakan, selain aturan hukum soal perkedelaian, kalau mau maju sebaiknya Indonesia juga memiliki industri perbenihan swasta nasional. Industriwan tidak bisa terus bergantung pada benih impor. Alasannya, meskipun saat ini harganya dinilai lebih murah dibandingkan dengan membuat benih sendiri, tetapi dalam hitungan tahun ketergantungan itu harus dibayar mahal.

Kalau para ilmuwan Indonesia sudah berani membuat ”kontrak miskin” pada dirinya sendiri, kapan pemerintah mau mengajak seluruh warga bangsanya betul-betul berani berhemat untuk hidup mandiri dari pertanian?


http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.01.31.01483011&channel=2&mn=13&idx=13