28 January 2008

Tempo 25-Jan-08: Polisi Temukan Gudang Penimbunan 13 Ribu Ton Kedelai

Polisi Temukan Gudang Penimbunan 13 Ribu Ton Kedelai
Jum'at, 25 Januari 2008 | 20:06 WIB

TEMPO InteraktifSurabaya:
Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya menemukan gudang tempat menimbun 13 ribu ton kedelai di Jalan Dupak Rukun 71 Surabaya, Jumat (25/1). 

Letak gudang itu tersembunyi karena berada di dalam area pabrik garam PT Susanti Megah. Sejak tahun lalu, PT Susanti menyewakan gudang itu kepada PT Cargill Indonesia. 

Ketika digeledah, didalamnya terdapat butiran-butiran kedelai yang menggunung hingga mencapai ketinggian sekitar 8 meter. Sebagian kecil dari kedelai-kedelai tersebut telah dipak ke dalam glansing. 

"Ini mengherankan. Di masyarakat kedelai langka, tapi disini ada barangnya segini banyak," kata Kapolwiltabes Surabaya Komisaris Besar Anang Iskandar yang datang ke lokasi sambil menggeleng-gelengkan kepala. 

Anang menduga ada indikasi kesengajaan untuk menimbun bahan baku pokok tempe dan tahu yang belakangan ini harganya membumbung. Pasalnya, dari dokumen yang didapatkan polisi, PT Cargill Indonesia yang berkartor pusat di Plaza Bapindo, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, itu mengimpor kedelai dari Amerika Serikat pada tahun 2007 lalu sebanyak 22 ribu ton. 

Namun yang mengherankan, impor yang diperuntukkan untuk mencukupi kebutuhan pada tahun lalu itu hingga akhir tahun hanya tersalur 9 ribu ton hingga awal 2008. 

Meski begitu, polisi belum dapat menyegel gudang tersebut karena belum menemukan indikasi pelanggaran pidana. "Kami masih akan menanyakan ke Deperindag mengapa izin impor tahun lalu, kok sampai sekarang sebagian besar barangnya tidak disalurkan," kata Anang yang didampingi Kasatreskrim Polwiltabes Surabaya, AKBP Dedi Prasetyo dan Kapolresta Surabaya Utara AKBP Nasri. 
Hingga Jumat sore, polisi masih menyelidiki keberadaan kedelai-kedelai tersebut dengan meminta keterangan Ardiansyah, Trading Manager PT Cargill dan Operatinonal Surveyor PT Cargill Ida Bagus Made Oka. Menurut keterangan kedua orang tersebut, selama ini PT Cargill masih mengantongi izin remi penjualan kedelai ke masyarakat. 

Menurut Ardiansyah, Cargill melepas kedelai ke pasaran dengan harga Rp 6.950 per kilogram. Polisi juga berupaya untuk mengadakan kontak dengan pimpinan PT Cargill bernama Clemen Tan yang berkewarganegaraan asing. "Kita akan selidiki pengakuan mereka," kata Dedi. Kukuh Wibowo

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/01/25/brk,20080125-116214,id.html


Tempo 25-Jan-08: Polisi Temukan Gudang Penimbunan Kedelai

Polisi Temukan Gudang Penimbunan Kedelai
Jum'at, 25 Januari 2008 | 18:18 WIB

TEMPO InteraktifSURABAYA:
Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya menemukan gudang penimbunan 13 ribu ton kedelai milik PT Cargill Indonesia di Jalan Dupak Rukun 71 Surabaya, Jumat (25/1). Letak gudang itu tersembunyi di areal pabrik garam milik PT Susanti Megah. 

Saat digeledah, isi gudang itu berisi butiran kedelai yang menggunung setinggi 8 meter. Sebagian kecil kedelai itu telah dipak dalam karung plastik. 

Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya, Komisaris Besar Anang Iskandar, mengaku heran melihat timbunan kedelai itu. Sebab pasokan kedelai di masyarakat saat ini masih langka. “Tapi di gudang ini ada kedelai begitu banyak,” ujarnya di Surabaya hari ini. 

Hingga sore hari ini Polisi masih menyelidiki keberadaan kedelai itu dengan meminta keterangan Trading Manager Cargil Indonesia, Ardiansyah dan Operatinonal Surveyor Cargil Indonesia, Ida Bagus Made Oka. 

Dari keterangan kedua orang ini, selama ini Cargill masih mengantongi ijin resmi penjualan kedelai ke masyarakat. 
Menurut Ardiansyah, Cargil melepas kedelai ke pasaran seharga Rp 6.950 per kilogram. 

Kukuh Wibowo

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2008/01/25/brk,20080125-116199,id.html

Tempo 24-Jan-08: KPPU Panggil Importir Kedelai

KPPU Panggil Importir Kedelai
Kamis, 24 Januari 2008 | 18:48 WIB

TEMPO InteraktifJakarta:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan meminta keterangan empat importir utama kedelai untuk memastikan ada atau tidaknya dugaan kartel seiring melonjaknya harga kedelai belakangan ini. 

“Mereka sudah kami kirimi undangan,” kata Ketua KPPU Syamsul Maarif. KPPU memperkirakan keterangan dari empat importir itu akan diperoleh awal Pebruari nanti. 

Sebelumnya disebut-sebut empat importir utama itu adalah Teluk Intan, Gunung Sewu, Liong Seng, dan Cargill. “Kalau tidak salah satunya ada Cargil,” ujar Syamsul. 

Dugaan kartel itu patut diselidiki karena sedikitnya importir kedelai. Padahal pemerintah tidak membatasi impor. Tapi dugaan itu belum dapat dipastikan. Sebab bisa jadi importir kedelai butuh modal besar sehingga secara alamiah pemainnya sedikit. 


Harun Mahbub

http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/01/24/brk,20080124-116123,id.html


Tempo 28-Jan-08: Polisi Temukan Timbunan 50 Ribu Ton Kedelai

Polisi Temukan Timbunan 50 Ribu Ton Kedelai
Senin, 28 Januari 2008 | 19:51 WIB

TEMPO InteraktifSurabaya: Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya kembali menemukan gudang penimbunan puluhan ribu ton kedelai impor asal Amerika Serikat pada Senin (28/1) sore. Gudang tempat menimbun kedelai berada di dua lokasi di Surabaya dan Sidoarjo. Masing-masing gudang menyimpan 23 ribu dan 27 ribu ton kedelai.

Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya Komisaris Besar Anang Iskandar yang mendatangi gudang di Sidoarjo mengungkapkan, dua gudang ini diketahui milik PT Gerbang Cahaya Utama. Tapi, setelah dicek surat dan dokumennya, importir itu bisa menunjukkan kepemilikan dokumen resmi. 

Dokumen itu menyatakan bahwa kegiatan PT Gerbang Cahaya Utama adalah legal. "Mereka telah mengimpor kedelai sebanyak empat kali,” kata Anang Iskandar. Impor terakhir dilakukan pada 3 Desember lalu. 

Anang yang ditemui Irawanto, penanggungjawab gudang mendesak agar puluhan ton kedelai itu segera dijual ke masyarakat. Pasalnya, dari aturan yang ada, tenggang waktu penimbunan bahan makanan impor seperti kedelai, hanya berlaku tiga bulan. Bulan depan kedelai ini sudah harus distribusikan ke masyarakat. Kalau “tetap ditimbun kami proses sesuai hukum," ujarnya. 

Penemuan gudang penimbunan kedelai itu merupakan yang kedua dalam sepekan terakhir. Pada Jumat pekan lalu aparat juga menemukan gudang penimbunan 13 ribu ton kedelai milik PT Cargill Indonesia. Penemuan demi
penemuan itu terjadi di tengah membubungnya harga bahan baku tempe dan tahu itu. kukuh s wibowo 

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2008/01/28/brk,20080128-116423,id.html

Tempo 11-17-Jun-07: ABC, Setelah 32 Tahun

ABC, Setelah 32 Tahun

Pemain tua ini masih bergigi. Meski beberapa tahun terakhir brand value-nya menurun, pamor kecap ABC sebagai kecap nomor satu negeri ini masih melekat. Penampilan barunya sejak 7 Februari terkesan modern. 

Kecap ABC memang salah satu produk andalan PT ABC Central Food Industri yang berdiri pada 1975. Pendirinya, Chu Sok Sam, mengawali kiprah bisnis di pabriknya di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Tiga tahun kemudian, ia mulai memproduksi sirup, sambal, dan saus tomat. Sejak 1982, mereka memproduksi teh, kopi, dan sari buah dalam kemasan, disusul makanan bayi, ikan kaleng (sarden), dan daging kaleng (corned beef). Produk-produk itu kemudian diekspor. 

Sepeninggal Chu pada 1986, generasi kedua, Kogan Mandala, memimpin perusahaan dengan tiga pabrik ini. Sedang giat-giatnya berekspansi, krisis ekonomi melanda. Untuk mengatasi masalah keuangan, ABC Central Food Industry menjual 65 persen sahamnya kepada HJ Heinz Co., raksasa kecap terkemuka asal Amerika Serikat. Otomatis sejak Februari 1999, kecap ABC bernaung di bawah PT Heinz ABC Indonesia. 

Sebetulnya kisah sukses Chu Sok Sam bukan hanya produksi makanan-minuman saja. Bersama saudaranya, Chandra Djojonegoro alias Chu Sam Yak, ia juga berhasil membesarkan batu baterai ABC dan Anggur Tjap Orang Tua. 

Di bawah pimpinan generasi keduanya pasca-1980, bisnis mereka justru menggurita. Akuisisi, usaha patungan dan pendirian perusahaan baru dilakukan, di antaranya menghadirkan Red Bull (Kratingdaeng), membidani kelahiran pembuat minuman Kiranti, Larutan Penyegar Panjang Jiwo, Larutan Penyegar Tjap Orang Tua, permen Tango, serta pasta gigi Durodont, ABCDent, dan Formula Junior.

D.A. Candraningrum


http://www.tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/arsip/2007/06/11/EB/mbm.20070611.eb3.id.html

Tempo 11-17-Jun-07: Si Bango Terbang Jauh

Si Bango Terbang Jauh

Bango, bukan Bangau. 

Itu karena kecap ini semula merupakan industri rumah tangga yang hanya dikenal di Jakarta dan Jawa Barat. Didirikan oleh Keluarga Tjoa Eng Nio pada 1928 di Tangerang di bawah bendera PT Anugerah Setia Lestari, pemiliknya bercita-cita mengembangkan si Bango hingga ke mancanegara. Mimpi itu memang terwujud lewat ekspor ke berbagai negara dengan omzet Rp 1 miliar per bulan. Cita-cita itu semakin nyata setelah pada 1992 Kecap Bango dipimpin oleh Eppy Kartadinata, putra keempat pasangan Yunus Kartadinata-Tjoa Eng Nio, yang menerima pinangan Unilever Indonesia untuk mengambil alih kepemilikan Kecap Bango. Sejak 2001, Kecap Bango pun resmi menjadi bagian dari Unilever Indonesia. 

Pemilik boleh berganti, namun rasa asli Kecap Bango tetap dipertahankan. ”Kualitasnya terus ditingkatkan,” kata Heru Prabowo, manajer senior merek Bango. Caranya dengan membina petani penghasil kedelai hitam, bahan dasar Kecap Bango, untuk mendapat hasil yang lebih baik. 

Hingga enam tahun pasca-akuisisi, banyak hal telah dilakukan oleh Unilever Indonesia. Tak hanya mengekspor Kecap Bango hingga ke seluruh Asia Tenggara dan Arab Saudi, anak perusahaan Unilever International yang berkantor pusat di London, Inggris, dan Rotterdam, Belanda, ini pun meremajakan si Bango yang dinilai tak menggairahkan lagi. 

Sejak 1 Februari lalu, Bango tampil dengan nama, logo, dan kemasan baru. Jika dulu mengusung merek Kecap Bango, sekarang cukup Bango saja. Kemasannya pun berubah menjadi terkesan lebih muda dengan warna-warna segar. Kini, si Bango siap terbang jauh dari sarangnya.

D.A. Candraningrum

http://www.tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/arsip/2007/06/11/EB/mbm.20070611.eb3.id.html

Tempo 11-17-Jun-07: Para Raja Kecap Bersabda

Edisi. 16/XXXIIIIII/11 - 17 Juni 2007
  
Ekonomi dan Bisnis

Para Raja Kecap Bersabda

ABC dan Bango berebut posisi kecap nomor satu negeri ini. Berbagai siasat dilakukan.

Untuk sebotol kecap, segala cuaca pasti ditempuh. Bagi Fatina Djihan saat menuntut ilmu di University of Leeds, Inggris, empat tahun lalu, dia pasti rela naik bus selama satu jam ke Manchester hanya untuk membeli sebotol kecap produksi Indonesia.

Maklum, kecap manis adalah menu wajibnya setiap kali makan. ”Rasanya seperti makan di rumah,” ujar tenaga pengajar di sebuah universitas swasta di Jakarta ini. Kebetulan, menurut Fatina, 33 tahun, merek kecap yang ditemui di kawasan Chinatown di Manchester itu sama dengan merek yang dikonsumsi keluarganya.

Tak mudah bagi kecap manis asli Indonesia untuk tiba ke tangan pelanggan setianya di luar negeri macam Fatina. Selain butuh jaringan yang luas, biayanya pun tak sedikit. Namun, dengan strategi bisnis yang tepat, distribusi ke mancanegara tak lagi jadi soal. 

Perang strategi bisnis itulah yang dilakukan oleh dua produsen kecap manis asal Indonesia, ABC dan Bango, yang kini bersaing ketat mengejar posisi puncak. Yang satu pemain senior dengan merek kuat dengan konsumen setianya. Yang lain, pemain baru yang sukses mendongkrak penjualannya hingga kini. 

Simak data terbaru Single Source Survey dari lembaga riset pasar asal Australia, Roy Morgan Research. Sepanjang April 2006 hingga Maret 2007, pembelian kecap ABC partai besar mengalami penurunan dari 51 menjadi 41 persen. Sebaliknya, penjualan kecap Bango dalam kurun waktu yang sama naik dari 19 menjadi 21 persen. 

Menurut riset lembaga riset pasar Euromonitor International, pada 2001, ABC menguasai 40 persen dari total penetrasi pasar (market share) kecap di Indonesia sebesar Rp 1,6 triliun. Namun, pada 2005, posisinya menurun hingga 33 persen dari total pasar yang mencapai Rp 3 triliun. Sebaliknya, pangsa pasar kecap Bango tetap stabil selama 2001–2005, yakni sebesar 32 persen. ”Ini perang bisnis antara dua merek yang sudah kuat,” kata pengamat bisnis dari MarkPlus Institute of Marketing, Yuswohady.

Kecap manis ABC sebetulnya bukan pemain baru di dunia kecap nasional (lihat ABC, Setelah 32 tahun). Februari 1999, saham mayoritas pendiri kecap yang terdiri atas tujuh varian ini dibeli oleh HJ Heinz Co., perusahaan kecap yang berpusat di Pittsburg, Amerika Serikat. Tak lama kemudian, nama perusahaan pun berubah menjadi PT Heinz ABC Indonesia. 

Lewat bendera barunya, kecap ABC mengalami perubahan teknologi informasi, proses pembuatan, dan jaringan pasar internasional. Hasilnya, angka penjualan tahunan kecap ABC dunia tak bergeser dari US$ 100 juta atau Rp 897 miliar, dengan kontribusi utama dari Indonesia. ”Sejauh ini, kami masih memimpin pangsa pasar di Indonesia,” kata Direktur Pemasaran PT Heinz ABC Indonesia, Iriana Ekasari Muazd.

Tak mau kalah, Unilever Indonesia pun mengakuisisi produk Kecap Bango pada 2001 (lihat Si Bango yang Terbang Jauh). Di tangan perusahaan multinasional ini, Kecap Bango tumbuh pesat lewat pemasaran modern. Kini, penjualan tahunannya mencapai Rp 500 miliar. Kecap Bango pun melebarkan sayap hingga ke Asia Tenggara dan Arab Saudi. ”Negara lain sudah banyak yang melirik Bango,” kata Manajer Senior Bango, Heru Prabowo. 

Bendera perang pun makin berkibar. Setelah akuisisi dan joint venture, berikutnya adalah peremajaan produk. Mulai Februari tahun ini, Kecap Bango menyegarkan logo burung bangaunya dan mengubah merek dagang dari ”Kecap Bango” menjadi ”Bango”. Unilever pun mengeluarkan kecap Bango kemasan sachet seharga Rp 300 per satuan, untuk menjangkau masyarakat kelas bawah. ”Namun, belum tersebar di seluruh Indonesia,” kata Dicky Saelan, Manajer Pemasaran Divisi Makanan PT Unilever Indonesia Tbk. 

Seminggu setelah Bango berganti baju, ABC pun tampil lebih segar dan modern, walau tanpa mengubah logo dan merek. Menurut Iriana, perubahan ini dilakukan bukan karena latah, melainkan ”sudah dipersiapkan sejak setahun lalu”.

Perang pun berlanjut lewat promosi langsung dengan konsumen (below the line). Tayangan program televisi ”Bango Cita Rasa Nusantara” masih dipertahankan, bahkan kontraknya terus diperpanjang. Jurus jitu lainnya, menggelar acara ”Festival Jajanan Bango” yang tahun ini memasuki tahun ketiga. Diselenggarakan di beberapa kota besar, acara ini terbukti sukses menggaet penikmat baru kecap Bango. 

Heinz ABC Indonesia tak tinggal diam. Lewat program ABC Culinary Academic, dicetaklah penasihat masakan (cooking advisor) hasil didikan juru masak ABC. Nantinya, penasihat ini akan ditempatkan di gerai penjualan kecap ABC untuk memberi tips membuat masakan lebih sedap. Juru masak ABC pun iklan paling tokcer. Mereka siap diundang demo masak secara cuma-cuma dengan menggunakan kecap ABC. 

Persaingan kedua merek ini paling kentara lewat promosi media (above the line), sebab kedua perusahaan besar ini tak pelit mengeluarkan dana untuk beriklan. Pemantauan Nielsen Media Research pada 2006, Unilever menghabiskan dana Rp 23 miliar untuk promosi kecap Bango. Sedangkan Heinz ABC Indonesia membayar Rp 22 miliar untuk belanja iklan kecap ABC. 

Hasilnya, Bango memang bukan pemimpin pasar. ”Tetapi dia memimpin emosi sehingga lebih dikagumi pelanggan,” tutur Yuswohady. Dampaknya, brand equity Bango pun semakin kuat. 

Untuk melawan balik Bango, Yuswo punya solusi. ”Jangan terpancing,” katanya. ABC harus tetap memelihara kepercayaan dirinya sebagai pemimpin pasar. Karena jebakan paling mematikan bagi ABC adalah menjadi pengikut dan mengikuti aturan baru yang diciptakan Bango. 

DA Candraningrum

http://www.tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/arsip/2007/06/11/EB/mbm.20070611.eb3.id.html

Agrina 13-Nov-07: Bisnis Kecap Segurih Rasanya (Pangsa Pasar ABC/Bango/Lain2 33/32/30)

13 November 2007
Bisnis Kecap Segurih Rasanya

Setiap tahun konsumsi kecap terus meningkat. Tentu saja, bisnisnya pun semakin bergairah.Lantas, bagaimana ketersediaan kedelai sebagai bahan bakunya?

 

            Sedari dulu masyarakat telah mengenal kecap. Tengok saja, banyak ibu-ibu yang menyuapi anak-anaknya dengan makanan yang telah dicampur kecap. “Tanpa kecap, makan jadi kurang enak,” ungkap Rifa, murid kelas IV SDIT Al Muhajirin, Jakarta Timur. Terang saja, bagi para penikmat, kecap bisa berperan sebagai penyedap makanan yang akan meningkatkan selera makan.

          Di luar itu, kecap juga mengandung protein, vitamin, dan mineral. Tak berlebihan bila banyak orang menjadikan kecap sebagai bagian dari menu harian.

            Menurut Sugih Prakoso,Manajer Utama PT. Alam Aneka Aroma, produsen Kecap Samyu di Sukabumi, Jabar, kecap sangat disukai masyarakat. Sehingga setiap tahun kebutuhannya semakin meningkat. Wajar bila kecap mudah dijumpai mulai di warung kakilima, pasar swalayan, restoran, hotel berbintang, sampai di tengah-tengah keluarga.

            Masyarakat mengenal beberapa merek kecap di tingkat nasional seperti Kecap Indofood (PT Indofood Sukses Makmur), Bango (PT Unilever Indonesia), ABC (PT Heinz ABC Indonesia), dan Nasional (PD Sari Sedap Indonesia). Ada juga kecap lokal seperti Kecap Korma di Jakarta, Zebra (Bogor), Kunci (Karawang), Benteng (Tangerang), Maja Menjangan (Majalengka), Kenarie (Surabaya), dan Kecap Jamburi di Blitar.

            “Dengan populasi penduduk lebih dari 200 juta jiwa, membuat bisnis kecap di Indonesia cukup menggiurkan. Walaupun peningkatannya setiap tahun tidak tinggi,” papar Sugih yang lulusan Peternakan UGM ini.

            Namun menurut Dicky Saelan, Manajer Pemasaran PT. Unilever Indonesia, produsen Kecap Bango, pertumbuhan bisnis kecap luar biasa. Setiap tahunnya, secara nasional, terjadi peningkatan 10%—20%.  “Alhamdulillah, semenjak 2001, pertumbuhan Kecap Bango termasuk salah satu yang mendorong perkembangan pasar kecap,” ucapnya. Diperkirakan, nilai penjualan kecap secara nasional sekitar Rp3 triliun per tahun. Baik dari penjualan kecap manis maupun asin.

 

Kualitas dan Citarasa

            Menurut Euromonitor International, pada 2001, pemimpin pasar nasional produksi kecap manis masih dikuasai ABC dan Bango. Kecap ABC menguasai pangsa pasar sekitar 40%. Namun pada 2005, posisinya turun menjadi 33%. Sementara Kecap Bango pada posisi 32%, dan Kecap Nasional menguasai 30%.

Semakin melajunya perkembangan bisnis kecap, membuat persaingan usaha semakin gencar. Khususnya persaingan antara kecap produksi nasional dengan kecap lokal. Lihat saja, begitu banyaknya iklan promosi yang dilakukan. Walaupun demikian, kecap produksi lokal tidak merasa kalah, karena diyakini kecap produksi lokal telah lebih tertanam kualitas dan rasanya di konsumen.

            ”Kami yakin akan kualitas kecap yang kami buat. Karena pada prinsipnya orang butuh makan, dan selera makan setiap orang berbeda. Semakin banyak variasi produk dan citarasa (taste), semakin banyak pula yang bisa diterima oleh pasar,” kata Sugih. Jadi produk lokalan tidak perlu takut terhadap suatu produk nasional yang sudah meluas. Ia berpendapat ceruk pasar itu tetap ada walau tidak skala yang lebih luas.

            Prof. Dr. Ujang Sumarwan, M.Sc., Ahli Consumen Behavior dari IPB, membenarkan, produsen kecap lokal memang sudah mengenal dengan baik pasarnya. Tapi masih butuh pembinaan menyangkut safety dan higienitas. Ditambah lagi bantuan modal, akses terhadap perbankan, dan akses terhadap kualitas sumber day amanusia yang baik.

            Senada dengan Sugih, Bambang Haryanto, Marketing Manager Kecap Sukasari di Semarang, Jateng, mengatakan diperusahaannya selalu menjaga kualitas produk melalui kontrol yang sangat ketat dan laboratorium khusus. Serta, terus melakukan inovasi dengan memproduksi kecap yang lebih hitam, lebih manis, dan lebih kental. “Kami masih mampu memasarkan kecap Sukasari untuk pasar Jawa Tengah dan Yogyakarta, khususnya mengusai di pasar lokal Semarang dan sekitarnya,” akunya.

            Selain itu, untuk mensiasati persaingan dengan kecap nasional, pabrik kecap lokal lebih fokus mengarap segmen pasar. Kecap Samyu yang telah mengeluarkan 3 merek dagang kecap asin maupun manis misalnya, lebih menekankan pada pasar menengah-bawah.

             “Saya nggak takut persaingan, rezeki sudah ada yang ngatur. Resep kecap memang banyak yang tahu, tapi butuh modal yang besar untuk mendirikan industri kecap. Selain itu, untuk mengenalkan taste kecap baru pada masyarakat butuh waktu yang lama,” jelas Sugih.

 

Kedelai Hitam Dicari

            Pesatnya kemajuan industri kecap ternyata tidak diimbangi ketersedian kedelai lokal sebagai bahan baku. Salah satu jenis kedelai yang banyak digunakan adalah kedelai hitam. Namun pemenuhannya sebagain besar masih didatangkan dari luar negeri. “Kita memang pakai kedelai hitam impor. Pernah dicoba dengan kedelai lokal tapi tasteyang dihasilkan beda. Mungkin saja untuk produk kecap laintaste-nya cocok, tapi untuk produk kita nggak pas,” ungkap Sugih.

            Sementara kecap Sukasari masih menggunakan jenis kedelai kuning. Meski terkadang menggunakan kedelai hitam. Alasannya, jenis kuning lebih mudah di dapat di pasar sehingga tidak mengalami kesulitan bahan baku. “Kedelai kuning ini dipasok dari Semarang dan sekitarnya,” kata Bambang.

            Dicky  menjelaskan, sesungguhnya kedelai bukan komponen utama dalam pembuatan kecap. Yang utama justru gula kelapa. Tapi, meskipun porsinya kecil, kedelai berperan besar terhadap enaknya rasa. “Oleh sebab itu, yang paling cocok memang kedelai hitam. Kedelai hitam ini sangat berpangaruh terhadap total rasa Kecap Bango,” akunya.

            Atas alasan itu pula, untuk menjamin ketersediaan bahan baku, PT Unilever Indonesia berkomitmen mengembangkan budidaya kedelai hitam di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya kerjasama antara Unilever, Universitas Gajah Mada (UGM), dan petani di Yogyakarta. Kerjasama dengan pola kemitraan itu telah berhasil menemukan varietas kedelai hitam lokal bernama Kedelai Mallika.

            Prof. Dr. Ir. Mary Astuti, MS., Koordinator Program Pemberdayaan Petani Kedelai Hitam UGM, yang juga memimpin kerjasama kemitraan itu mengatakan, Mallika ditujukan untuk memproduksi kecap. Dalam proses pembuatan kecapnya pun tidak perlu menggunakan bumbu maupun penyedap rasa seperti monosodium glutamate(MSG). Sehingga kecap yang dihasilkan benar-benar berkualitas tinggi. “Kecap yang diproduksi hanya dari ekstrak kedelai dan gula kelapa,” tandas Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini.

            Namun, untuk menutupi kekurangan pada sisiflavour, biasanya produsen akan menambahkan bumbu dan penyedap rasa pada proses produksi kecapnya. Hanya saja, menurut Astuti, koji (hasil fermentasi kedelai) Mallika berkualitas bagus. Sehingga akan mampu menghasilkan kecap dengan flavour yang bagus pula.

            Selain itu, kedelai Mallika juga menawarkan berbagai keunggulan yang bisa membuat petani untung berlipat. Varietas hasil riset Tim Peneliti Fakultas Pertanian UGM ini tahan simpan hingga enam bulan, produktivitas tinggi, tahan genangan, tahan kekeringan, mengandung antioksidan yang tinggi, dan bukan merupakan produk rekayasa genetika (GMO).

 

Kembangkan Kemitraan

            Saat ini benih Mallika telah dipergunakan petani yang mengikuti kemitraan dengan Unilever. Sejak program dirintis pada 2001, telah 5.000 petani dan 126 kelompok tani terlibat dalam kemitraan. Mereka tersebar di Bantul, Sleman, Nganjuk, Trenggalek, Madiun, Blitar, dan Jombang, serta beberapa daerah di Jawa Tengah. Pada 2005 total lahan mencapai 416,459 ha. Tahun lalu meningkat menjadi 650 ha, dan tahun ini sudah mencapai 1.800 ha. “Tahun depan ditargetkan naik lagi, dengan harapan benih yang terserap sebanyak 70 ton,” ucap Astuti.

            Maya F. Tamimi dari Yayasan Unilever Indonesia menambahkan, manajemen petani mitra harus independen, tapi masih  dalam pembinaan dengan UGM. Pembinaan ini dimaksudkan supaya hasilnya lebih bagus. Pembinaan dilakukan dengan menempatkan sarjana  pertanian untuk mendampingi petani. “Sekarang kami mempunyai tim 20 orang, 11 orang di antaranya tinggal di Yogya,” ungkap Maya.

            Bagi petani lain yang ingin mengikuti kemitraan itu, terlebih dahulu harus tergabung dalam kelompok dan berkoperasi. Pasalnya, dalam pengambilan hasil panen, Unilever hanya berurusan dengan koperasi. Selain itu, luas lahan pun ditentukan minimal 50 ha.

            Sebagai inti, Unilever akan memberikan pinjaman benih, sarana produksi, talangan biaya pembelian kedelai dari koperasi kepada petani, peralatan perontok kedelai, dan jaminan pasar. Biaya tersebut dikembalikan petani dalam bentuk kedelai. Harga kontrak pembelian kedelai oleh koperasi pada petani, tahun ini, Rp4.000/kg.

            Memoria, Brand Manager PT Unilever Indonesia, menjelaskan upaya kemitraan diambil untuk mengimbangi Kecap Bango yang tumbuh pesat. “Hasil prediksi kami, suatu saat kedelai hitam yang ada di pasar tidak cukup memenuhi kebutuhan. Karena itu jauh-jauh hari sudah harus mulai membangun petani mitra,” jelasnya. Petani, lanjut dia, harus mulai dibina. Karena waktu petani diminta menanam, mereka bilang siapa yang mau beli?

            Langkah Unilever itu patut ditiru. Bila sudah banyak perusahaan yang melibatkan petani, diharapkan tercipta petani pemasok yang mampu menyediakan bahan baku sesuai kebutuhan pasar. Dengan begitu, perkembangan industri kecap tidak hanya dinikmati para pengusaha, melainkan bersama-sama dengan petani.

 

Yan Suhendar, Enny Purbani T., Peni SP, Faiz Faza, Agus Triono, Ova Indriana


http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=7&aid=1115