26 January 2008

Bisnis 17-Jan-08: Bulog siap stabilkan harga kedelai

Kamis, 17/01/2008 16:32 WIB

Bulog siap stabilkan harga kedelai

oleh : John Andhi Oktaveri

JAKARTA: Perum Bulog siap menstabilkan harga kedelai jika diminta pemerintah untuk menangani komoditi yang kini melambung sampai di atas Rp7.200 per kilogram tersebut. 

"Kalau pemerintah ingin instrumen kendali yang efektif, yang bisa dimanfaatkan ya Bulog," kata Dirut Perum Bulog Mustafa Abubakar pada Diskusi Ketahanan Pangan di Kantor Wapres hari ini. 

Dia menyebutkan Bulog memiliki pengalaman panjang untuk berperan menstabilkan harga. Menurut Mustafa, di masa lalu Bulog mengelola banyak komoditas strategis yang dulu disebut sembilan bahan pokok (sembako) termasuk kedelai yang sebelumnya hanya seharga Rp3.000 per kilogram. 

"Kalau sekarang� kita cuma menangani beras. Tetapi kalau pemerintah meminta kedelai, kita juga siap," katanya menjelaskan. 

Mustafa merujuk keberhasilan Bulog menstabilkan harga beras tahun lalu. Pada tahun 2007, katanya, Bulog berhasil mengatasi gejolak harga beras. Menurut dia, Bulog tidak perlu memonopoli penanganan komoditi kedelai melainkan cukup diberi kuota bersama pengusaha kedelai lainnya. 

"Jadi peran kita hanya sebagai penyeimbang sehingga harga kedelai bisa distabilkan," ujar Mustafa yang sebelumnya bertemu Wapres Jusuf Kalla untuk melaporkan kondisi Bulog dan ketahanan pangan. 

Mustafa mengaku Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla sudah menanyakan kemungkinan Bulog menangani komoditas kedelai. Dia menilai ketergantungan kedelai Indonesia pada kedelai Amerika Serikat harus bisa dicarikan jalan keluar. 

Kondisi itu terjadi karena kedelai dari negara lain seperti Brasil dan Argentina tidak sesuai untuk kebutuhan konsumen Indonesia. Bahkan kedelai domestik pun juga tidak bagus untuk pembuatan tempe. 

"Kedelai kita hanya bagus untuk membuat tahu, kalau untuk tempe, kedelai AS kelas dua yang bagus," ujarnya. 

Pada bagian lain dalam diskusi yang dilakukan Forum Komunikasi Istana Wakil Presiden (Forwapres) itu, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan, Winarno, juga meminta Bulog menstabilkan harga kedelai. 

Dia menyatakan jika dibiarkan penuh pada mekanisme pasar, harga kedelai akan sangat bergejolak dan merugikan petani. "Bulog juga harus menangani kedelai juga, kalau hanya tangani beras namanya ganti saja menjadi Buras bukan Bulog," tegasnya. (dj)


http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id39336.html

Bisnis 22-Jan-08: Swasembada kedelai dipercepat jadi 2011

Selasa, 22/01/2008 19:38 WIB

Swasembada kedelai dipercepat jadi 2011

oleh : Lahyanto Nadie

JAKARTA (Antara): Pemerintah akan mempercepat pencapaian swasembada kedelai dari yang sebelumnya ditargetkan pada 2015 menjadi 2011 dengan produksi dalam negeri sebanyak 2 juta ton.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono menyatakan kondisi harga kedelai yang bagus saat ini merupakan saat yang tepat untuk meningkatkan produksi dalam negeri.

"Karena harga yang bagus maka swasembada kedelai akan dipercepat menjadi 2010 dari rencana 2015," katanya disela Rapat Dengar Pendapat antara Komisi VI DPR dengan Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Negara Koperasi dan UKM, Dirut Perum Bulog serta Dirut PT Pertani di Jakarta hari ini.

Anton menyatakan untuk mencapai target produksi kedelai dua juta ton pada 2011 tersebut salah satunya dilakukan dengan perluasan areal tanam hingga 1,2 juta hektar serat meningkatkan produktivitas dari 1,3 ton per hektar menjadi dua ton per hektar.

Berdasarkan catatan Departemen Pertanian, pada tahun 1992 produksi kedelai nasional pernah mencapai 1,8 juta ton namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama kemudian semakin menurun dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2000 produksi kedelai menjadi 1,01 juta ton dengan luas panen 824.484 ribu ha serta produktivitas 1,1 ton/ha namun empat tahun kemudian turun menjadi 723.483 ton serta luas panen 565.155 ha dan produktivitas 1,2 ton/ha pada 2004.

Badan Pusat Statistik mencatat, produksi kedelai nasional pada 2007 semakin anjlok menjadi 608.263 ton karena luas panen juga menurun menjadi 464.427 ha meskipun produktivitas tanaman meningkat menjadi 1,3 ton/ha.

Jika kebutuhan kedelai dalam negeri sekitar 1,8 hingga dua juta ton per tahun maka untuk memenuhi konsumsi kedelai nasional dilakukan dengan mengimpor rata-rata 1,2 juta ton per tahun.

Mentan mengatakan penurunan produksi kedelai dalam negeri disebabkan usaha budidaya komoditas tanaman tersebut tidak menguntungkan secara ekonomis karena harga kedelai relatif murah sehingga petani enggan menanamnya.

Sementara itu, tambahnya, kedelai impor yang mendapatkan subsidi dari pemerintahnya bisa dipasarkan dengan harga murah sehingga menjadikan daya saing produksi petani semakin lemah.

"Oleh karena itu untuk mendorong petani kembali menanam kedelai pemerintah akan memberikan jaminan harga yang stabil pada tingkat Rp5500-Rp6000/kg," katanya.

Selain itu, tambahnya, juga memberikan jaminan pasar misalnya melalui program kemitraan Bulog dengan petani sehingga hasil panen mereka ada kepastian akan terbeli.

Di tingkat hulu akan melibatkan BUMN seperti PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani untuk menyediakan benih unggul serta PT Pusri, Kujang, Petrokimia Gresik dan Iskandar Muda dalam penyediaan pupuk baik kimia maupun organik.

Dengan percepatan swasembada kedelai diperkirakan pada 2011 impor kedelai hanya 241.594 ton atau 9,8% dari kebutuhan 2,46 juta jika produksi dalam negeri sebanyak 2,22 juta ton terpenuhi.(ln)

http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id40028.html

Bisnis 23-Jan-08: Rapat Komisi VI tak simpulkan batasan harga kedelai

Rabu, 23/01/2008 10:50 WIB

Rapat Komisi VI tak simpulkan batasan harga kedelai

oleh : Moh. Fatkhul Maskur

JAKARTA: Rapat Gabungan Komisi VI DPR dengan sejumlah menteri dan para produsen tahu tempe hanya menjadikan batasan harga stabil kedelai Rp5.500 – Rp6.000 per kg sebagai catatan yang tidak masuk dalam kesimpulan. 

Rapat Gabungan Komisi VI DPR, yang berakhir pukul 00.20 WIB melibatkan Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, dan Menteri Negara Koperasi dan UKM, serta Ketua Induk Koperasi Tahu Tempe (Inkopti). Penetapan batas harga eceran kedelai di tingkat produsen tempe tahu ini sempat disampaikan sebagai draf kesimpulan rapat, yang dipimpin Toto Daryanto (F-PAN). 

Namun, pro-kontra penetapan harga batas ini sebagai kesimpulan rapat sempat alot dan memanas hingga Zulkifli Hasan, legislator F-PAN, melakukan aksi walk-out. Pentingnya penetapan batas harga kedelai juga disampaikan Aria Bima dan sejumlah legislator lainnya dari PDIP. Tapi, legislator lain, seperti Nusron Wahid (F-PG), dan Azam Azman Natawijana (FPD), tidak sependapat. 

Zulkifli menuntut agar batas harga itu ditetapkan dengan pertimbangan daya beli masyarakat terhadap tahu tempe berada pada kisaran harga kedele Rp5.500 – Rp6.000. “Soal bagaimana menurunkan itu tugas pemerintah. Kalau harga pasar, ditambah pembebasan bea masuk dan pajak, ketemu angka Rp7.200 per kg. Tinggal subsidi,” ujar Zulkifli. 

Dia mengkritik sikap pemerintah dan anggota dewan lainnya yang tidak mau menetapkan batasan harga stabil jangka pendek selama tiga bulan mendatang. Tanpa batasan angka tersebut, dia menilai, rapat yang melibatkan banyak menteri ini tidak menghasilkan hal kongkret alias mengambang, karena yang diharapkan perajin adalah stabilitas harga. 

“Apa susahnya membela orang yang mau ‘mati’ [gulung tikar]. Berikan subsidi, mereka itu rakyat kecil. Lha, kita – kita kan juga dapat subsidi premiun, Rp2.000 per liter,” ujarnya. 

Nusron Wahid berpendapat usulan angka batas harga itu baru dari satu sumber yakni Inkopti. agar lebih adil dan obyektif masih dibutuhkan dari dua sumber lagi, yakni petani, dan konsumen tahu tempe. (dj)

http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id40166.html

Bisnis 23-Jan-08: Inkopti ditawari importer harga khusus kedelai

Rabu, 23/01/2008 11:22 WIB

Inkopti ditawari importer harga khusus kedelai

oleh : Moh. Fatkhul Maskur

JAKARTA: Ketua Induk Koperasi Tahu Tempe (Inkopti) Sulchan R.M. mengaku dipanggil salah seorang importer yang menawarkan ‘diskon harga khusus’ kedelai bila dirinya tidak menyuarakan masalah kenaikan harga bahan baku utama tahu tempe. 

“Saya dipanggil importer. Dia mengatakan, kalau diam, saya dikasih diskon [harga] khusus,” ujar Sulhan dalam acara rapat gabungan Komisi VI DPR dengan Menperin, Mendag, Mentan, Menkop dan Inkopti, tadi malam. 

Hal ini, kata dia, membuktikan bahwa importer tidak berperilaku benar dalam berbisnis dan masalah lonjakan harga kedelai yang terjadi belakangan ini. Pada September 2007, para broker bisa membeli kedelai dengan pinjaman. Tapi tak lama setelah itu tidak satupun koperasi tahu tempe (kopti) bisa membeli kecuali dengan kontan, karena barang langka. 

Pada September – Oktober 2007, harga kedelai masih dikisaran Rp4.500 per kg, tapi pada bulan ini sudah mencapai Rp7.600 per kg “Stok menipis. Ini yang membuat kami khawatir. Tidak ada pengendalian pada importer.” 

Kondisi stok yang tipis sempat dikatakan empat importer utama kedelai pada rapat yang dipimpin Deputi Menteri Perekonomian Bayu Krisnamurti, sebelumnya. “Mereka mengatakan stok kedelai hanya 65.000 ton – 70.000 ton. Ini satu bulan habis untuk produksi tahu tempe. Kami khawatir sekali. Kami tak bisa dagang lagi,” ujar Untung Suparwo, Sekretaris Inkopti. 

Namun, menurut Dirut Perum Bulog Mustafa Abubakar, dirinya telah bertemu dengan empat importer kedele dan mereka menyatakan 200.000 ton. “Kami sudah undang empat importer itu dan mereka mengatakan masih ada stok 200.000 ton. Ya,� kami lega.” 

Nusron Wahid, anggota Komisi VI (F-PG), mengingatkan Komisi VI harus serius menyikapi informasi tentang perilaku importer karena bila hal itu benar, bisa mengindikasikan praktik bisnis yang tidak etis. 

“Harus panggil KPPU. Sebagai mitra Komisi VI, saya merekomendasikan agar diagendakan pemanggilan terhadap KPPU untuk menyikapi masalah ini,” ujar Nusron. Selain itu, bila diperlukan Mendag harus menindak importer ini dengan mencabut atau melikuidasi izinnya. (dj)

http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id40177.html

Bisnis 24-Jan-08: Inkopti sambut baik hasil rapat gabungan Komisi VI

Kamis, 24/01/2008 10:24 WIB

Inkopti sambut baik hasil rapat gabungan Komisi VI

oleh : Moh. Fatkhul Maskur

JAKARTA: Induk Koperasi Tahu Tempe (Inkopti) menyambut baik hasil rapat gabungan Komisi VI dengan sejumlah menteri yang tentang permintaan agar pemerintah menciptakan stabilisasi harga kedelai, meski tanpa menyebut batasan harga Rp5.500 – Rp6.000 per kg. 

“Ya, itu sudah baik. Harapan kami, mudah – mudahan harga kedelai akan stabil di angka Rp5.500 – Rp6.000 per kg,” ujar Ketua Umum Inkopti Sulchan R.M. kepada Bisnis. 

Inkopti awalnya mendesakkan batasan harga kedelai yang wajah dan memungkinkan para produsen tahu tempe bisa berproduksi sesuai dengan tingkat daya beli masyarakat saat ini. 

Badan usaha milik kalangan produsen tahu tempe ini juga menyarankan pemerintah agar menugaskan Bulog sebagai stabilisator harga kedelai. Hal ini mengingat jumlah importir komoditas ini sekarang hanya empat perusahaan, dan diduga melakukan praktik kartel. 

“Bila ada selisih harga di pasar hanya karena beda kualitas dan jenis barang.” Hal senada disampaikan Ketua Forum Komunikasi Kopti Jakarta (FKPJ) Sutaryo. 

“Tidak dimasukkannya batasan harga [dalam kesimpulan rapat] itu jalan tengah, karena ada pro-kontra. Kita tunggu saja hasilnya.” (dj)

Bisnis 24-Jan-08: Gubernur: Petani Jateng tak tertarik tanam kedelai

Kamis, 24/01/2008 13:25 WIB

Gubernur: Petani Jateng tak tertarik tanam kedelai

oleh : Djony Edward

MAGELANG (Antara): Para petani di Jawa Tengah umumnya tidak tertarik menanam kedelai karena hasil produksinya relatif lebih rendah ketimbang tanaman lainnya, kata Gubernur Jawa Tengah Ali Mufiz.

"Produksi kedelai tidak menarik petani karena hanya sekitar 1,5 ton per hektar," katanya di sela mendampingi Putra Kaisar Jepang Pangeran Akishino bersama istriya, Kiko Kawashima, berkunjung ke Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jateng, Kamis.

Ia mengatakan masa tanam kedelai yang relatif lebih lama ketimbang komoditas lainnya menjadi alasan para petani setempat tidak tertarik menanam kedelai.

Jika produksi kedelai bisa mencapai sekitar tiga ton per hektar dengan masa tanam lebih singkat, katanya, kemungkinan besar para petani akan tertarik menanamnya.

Pemerintah Provinsi Jateng saat ini sedang menjajaki kerja sama dengan lembaga penelitian bidang pertanian untuk produksi bibit kedelai dengan varietas unggul.

"Butuh rekayasa genetika dan harus dipahami bahwa kedelai sebagai tanaman subtropis sehingga perlu modifikasi," katanya ketika menanggapi kenaikan harga kedelai akhir-akhir ini.

Ia mengatakan, pihak pemprov setempat telah menampung sejumlah usulan tentang pengembangan produksi kedelai lokal yakni kedelai hitam dan pengembangan bibit kedelai asal Kabupaten Grobogan dengan hasil sekitar dua ton per hektare.

"Tetapi itu masih perlu justifikasi dan penelitian empiris," katanya.

Ia mengatakan, jangka pendek sekarang ini perlu percepatan persediaan kedelai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menurunkan harga di pasaran.

Jika harga kedelai tetap tinggi, katanya, dikhawatirkan banyak industri kecil yang berbasis komoditas tersebut akan kolaps.

Jangka panjang, katanya, perlu swasembada kedelai dengan bantuan berbagai pihak terkait.

Ia mengatakan, hingga saat ini produksi kedelai Jateng yang sekitar 150 ribu ton per tahun tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang besarnya sekitar 450 ribu ton per tahun.

"Sehingga harus didatangkan dari luar negeri, padahal harga impor tinggi, kalau lokal Rp6.500,00 per kilogram, impor Rp7.000,00 per kilogram," katanya.

http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id40387.html

Bisnis 25-Jan-2008: Sultra potensial jadi sentra kedelai

Jumat, 25/01/2008 15:12 WIB

Sultra potensial jadi sentra kedelai

oleh : Djony Edward

KENDARI (Antara): Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) sangat berpotensi untuk menjadi salah satu daerah sentra kedelai di Indonesia karena komoditi tersebut sangat cocok dikembangkan di daerah ini.

Selain itu, lahan yang tersedia cukup luas, termasuk lahan persawahan yang hanya berproduksi sekali setahun, kata Kabid Produksi, Dinas Pertanian Sultra, Ir Antoni Balaka ,di Kendari, hari ini.

Menurut dia, adanya keinginan pemerintah untuk menambah luas lahan pengembangan kedelai seluas 200 ribu hektar di daerah sentra kedelai, seperti Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Lampung dan Palembang juga bisa dikembangkan di Sultra.

Jika, Sultra mendapatkan kuota untuk mengembangkan kedelai berapa pun jumlahnya, pihaknya optimis dapat memenuhi kuota tersebut karena minat petani kedelai yang dulunya rendah, kini mulai kembali bergairah sebab harganya mulai membaik.

Antoni mengatakan rendahnya produksi kedelai di Sultra maupun di daerah sentra kedelai lainnya di Indonesia disebabkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap petani kedelai.

Selama ini, pemerintah terlalu fokus pada peningkatan produksi padi dan jagung yang dibuktikan dengan banyaknya bantuan benih gratis dan pestisida, tetapi komoditi kedelai tidak ada sama sekali.

Selain itu, lanjut Antoni, kebijakan pemerintah untuk tetap mendatangkan kedelai dari luar negeri menjadi beban terberat bagi petani, sebab harga kedelai lokal lebih mahal dari harga kedelai luar negeri.

"Kenapa kita tidak mencoba memproduksinya sendiri, selain lahan yang memadai juga ketersediaan SDM petani kedelai juga memadai, baru kemudian menghentikan impor kedelai," ujarnya.

Data luas lahan kedelai se Sultra tercatat 3.112 hektare dengan produktivitas sembilan kuintal/hektare dan produksi pertahunnya terus meningkat sementara, 40 persen dari 90 ribu hektare lahan persawahan di Sultra dapat digunakan untuk memproduksi kedelai.

http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id40605.html

KompAs 24-Jan-08: 80 Persen Bahan Pangan Kalbar Dipasok dari Jawa

80 Persen Bahan Pangan Kalbar Dipasok dari Jawa
KAMIS, 24 JANUARI 2008 | 21:08 WIB

PONTIANAK, KAMIS - Ketergantungan bahan pangan Kalimantan Barat terhadap pasokan dari Pulau Jawa masih berkisar 80 persen. Akibatnya, kenaikan harga bahan pangan di Pulau Jawa hampir dipastikan akan mendorong kenaikan harga di kalbar.

“Kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengendalikan harga bahan pangan karena kenaikannya mengikuti mekanisme pasar. Kalau harga di Pulau Jawa Naik, di Kalbar pasti ikut naik. Kalau transportasi pengangkutan lewat laut terhambat gelombang besar, harga juga naik,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalbar, Ida Kartini, Kamis (24/1).

Sejumlah bahan pangan yang masih dipasok dari Pulau Jawa antara lain gula, tepung terigu, kedelai, minyak goreng, dan beras. Untuk memutus ketergantungan tersebut, menurut Ida, perlu didorong agar Kalbar bisa memproduksi sendiri bahan pangan.

Kenaikan harga sejumlah bahan pangan dalam sepekan terakhir, terpantau di Pasar Falmboyan dan Pasar Central, Pontianak. Minyak goreng curah yang semula harganya Rp 9.800 per kilogram, naik menjadi Rp 10.000 per kilogram. Harga tepung terigu yang semula Rp 6.500 per kilogram, naik menjadi Rp 7.000 per kilogram. Sementara beras IR 64 kualitas medium yang semula harganya Rp 6.600 per kilogram, naik menjadi Rp 6.800 per kilogram.

Menurut penuturan pedagang, harga bahan pangan di Kota Pontianak hingga bulan Februari mendatang diperkirakan akan terus meningkat karena mendekati Hari Raya Imlek.

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.01.24.21080493&channel=1&mn=2&idx=5

Kompas 24-Jan-08: Awas Kedelai AS Masuk dengan CLQ

Awas Kedelai AS Masuk dengan CLQ
KOMPAS/RIZA FATHONI / Kompas Images
Perajin tempe di sentra produksi tahu-tempe Tegal Parang, Mampang, Jakarta, mengolah kedelai untuk dibuat menjadi tempe, Minggu (20/1). Sebagian pengusaha tempe di kawasan tersebut yang memiliki tempat usaha sendiri masih berusaha bertahan dengan margin yang sangat pas-pasan karena kenaikan drastis harga kedelai yang diimpor dari Amerika. Sementara pengusaha yang menyewa tempat terpaksa gulung tikar karena tidak sanggup membayar uang sewa.
Kamis, 24 januari 2008 | 02:33 WIB

Hermas E Prabowo

Dulu susu, sekarang kedelai... lalu apa lagi? Pertanyaan bernada sinisme itu terlontar dari seorang ibu rumah tangga di Bintaro, Jakarta Selatan. Ia memang pantas gelisah. Pasalnya, satu demi satu benteng pertahanan pangan bangsa ini runtuh. Padahal, 19 tahun lalu ada kenangan manis yang dirasakan peternak.

Ketika itu peternak sapi perah nasional menikmati kegembiraan luar biasa. Harga susu segar peternak rakyat dibeli oleh industri pengolahan susu (IPS) dengan harga 300 persen lebih tinggi dari harga semula.

Kegembiraan peternak saat itu tidak bisa lepas dari peran Menteri Muda Urusan Koperasi merangkap Kepala Bulog. Ketika itu pemerintah bertekad meningkatkan produksi susu lokal —sebagai sumber protein hewani—untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.

Namun apa daya, produksi susu nasional saat itu baru memenuhi 5-10 persen kebutuhan masyarakat Indonesia sekitar 500.000 ton susu. Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Budiyana, Rabu (23/1), mengungkapkan, untuk mendongkrak produksi susu nasional, pemerintah membuat gebrakan.

Wujudnya, pada 1979-1983 pemerintah mengimpor sapi perah jenis frisian holstein (FH) sebanyak 80.000 ekor dari Australia dan Selandia Baru.

Dengan kebijakan peningkatan produksi susu nasional, sekali dayung pemerintah mendapat banyak keuntungan, yakni peningkatan kesejahteraan peternak, kebangkitan ekonomi pedesaan, pengembangan industri minuman, dan peningkatan gizi masyarakat. Sementara pengangguran dapat ditekan.

Setelah mengimpor sapi, waktu itu Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Pertanian, dan Menteri Perindustrian menandatangani surat keputusan bersama yang mewajibkan IPS membeli susu segar jika akan impor.

Titik balik kehancuran susu berawal ketika pemerintah menandatangani letter of intent (LoI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF).

IPS tidak memiliki kewajiban lagi membeli susu peternak. Mereka memang berkomitmen untuk tetap menyerap susu petani, tapi bagaimanapun mekanisme pasar telah memberikan pilihan bagi industri susu untuk mengimpor susu karena lebih murah.

Peternak tak lagi memiliki posisi tawar kuat dan pemerintah pun tak bisa berbuat banyak. Peternak susu perlahan bangkrut. Produksi susu jatuh dan dominasi susu impor terjadi.

Ambruknya produksi susu nasional terjadi ketika peran industri susu multinasional semakin kuat dalam bisnis susu di Indonesia.

Krisis bahan baku susu terjadi ketika Australia dan Selandia Baru dilanda kekeringan tahun 2006. Produksi susu Australia sebagai pemasok utama susu ke pasar Indonesia turun.

Harga susu melambung, sementara pemerintah tak berdaya. Konsumen susu dalam negeri langsung dihadapkan pada fluktuasi harga susu dunia.

Apa yang terjadi pada susu tidak beda jauh dengan kedelai. Pemerintah menggenjot produksi kedelai hingga 1,8 juta ton pada 1992 dengan menjalankan berbagai program peningkatan produksi seperti Crash Program Pengapuran, Upaya Khusus Kedelai, dan Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, Jagung.

Pascapenandatanganan LoI antara IMF dan pemerintah produksi kedelai hancur. Petani kedelai terus berproduksi, tetapi tidak ada jaminan untung.

Setelah ”dipaksa” melepas intervensi tata niaga komoditas pertanian, pemerintah juga harus menurunkan bea masuk impor kedelai dari 20 persen menjadi nol persen.

Sebagai ”imbalannya”, AS mengekspor kapas ke Indonesia untuk menyelamatkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Kasus CLQ

Beberapa waktu lalu, Pemerintah AS juga menawarkan strategi serupa untuk memasukkan produk ayam potongan (chicken leg quarter/CLQ), seperti paha dan sayap ayam.

AS harus memperjuangkan ekspor CLQ ke Indonesia karena produksinya terus meningkat dan CLQ di AS nilai ekonomis rendah. Ekspor produk ayam AS tahun 2004 mencapai 2,163 juta ton, 60 persen di antaranya berupa CLQ.

Negara-negara yang menjadi sasaran ekspor CLQ dari AS antara lain Rusia, Jepang, China, Arab Saudi, dan beberapa negara Eropa. AS perlu terus mencari pasar baru dan Indonesia salah satu sasarannya.

Karena itu, dalam strategi diplomasi perdagangan AS-Indonesia, CLQ selalu menempati ”daftar tunggu”. Persoalan CLQ selalu muncul dalam bisnis unggas di AS karena konsumen AS selektif.

Mereka tak mau mengonsumsi potongan ayam, seperti paha bawah dan sayap, karena dianggap makanan binatang.

Saat ini, peluang AS untuk memasukkan CLQ ke Indonesia muncul lagi ketika Indonesia terperangkap krisis kedelai. Pemerintah sendiri ”angkat tangan” karena tak bisa menurunkan harga kedelai jauh dari harga di pasar dunia.

Memberikan subsidi harga untuk menjamin kebutuhan kedelai lebih murah juga berat karena tak ada anggaran dalam APBN 2008. Dana yang dibutuhkan untuk meng-cover kebutuhan subsidi kedelai hingga enam bulan ke depan sekitar Rp 200 miliar.

Sementara perajin tahu-tempe mendesak penurunan dan stabilitas harga kedelai agar terlepas dari kebangkrutan. Di sisi lain, AS merupakan produsen kedelai utama di dunia.

Kedelai yang diperdagangkan di pasar dunia sekitar 50 persennya dari AS. Karena itu, bukan tidak mungkin AS akan menawarkan kedelai murah ke Indonesia dengan mekanisme dumping untuk sekadar mencari cara agar mereka bisa memasukkan CLQ ke Tanah Air.

Apalagi saat ini harga produk unggas di Indonesia juga mahal akibat tekanan harga pakan. Melihat peluang AS itu sudah saatnya pemerintah mewaspadainya.

Apalagi kebijakan Menteri Pertanian soal impor bubur daging (mechanically deboned meal/MDM) yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 61 Tahun 2007 memberi ”angin segar” bagi negara lain untuk mengimpor ayam dalam kondisi tidak utuh.

Padahal, dari syarat aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) yang diterapkan pemerintah untuk menghindari tekanan masuknya CLQ dari AS, hanya syarat ”utuh” yang paling ampuh.

Celah ini kalau tidak ”ditutup” rapat bisa menjadi alasan bagi AS untuk menekan Indonesia agar menerima CLQ dengan jaminan harga kedelai murah. Kalau itu sampai terjadi, satu lagi gerbang pertahanan pangan bangsa ini ambruk karena jutaan peternak unggas bakal bangkrut.

Kompas 26-Jan-08: Produksi Kedelai Belum Akan Menolong

Produksi Kedelai Belum Akan Menolong
Sabtu, 26 januari 2008 | 02:48 WIB

Jakarta, Kompas - Peningkatan produksi kedelai secara bertahap 11-20 persen, tahun 2008-2010, belum dapat menahan fluktuasi harga akibat gejolak harga di pasar dunia.

 Ketahanan pangan, khususnya kedelai, sampai empat tahun ke depan masih ”tersandera” pasar global karena konsumsi jauh melebihi produksi dalam negeri.

”Ketahanan pangan dalam arti kemandirian pangan bisa dijamin apabila produksi dalam negeri setidaknya 90 persen dari total konsumsi,” kata Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia (Wamti) Agusdin Pulungan, Jumat (25/1) di Jakarta.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono di hadapan Komisi VI DPR, Selasa lalu, menyatakan, tahun 2008 pemerintah akan meningkatkan produksi kedelai menjadi 900.000 ton, atau naik 291.737 ton dari produksi 2007 sebanyak 608.263 ton.

Peningkatan produksi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas, memperluas area tanam, mengamankan produksi, dan memperkuat kelembagaan.

Dirjen Tanaman Pangan Sutarto Alimoeso mengatakan, peningkatan produktivitas dilakukan dengan penggunaan benih varietas unggul bermutu. Adapun perluasan area tanam diutamakan di wilayah yang dulu menjadi sentra produksi kedelai, serta memanfaatkan lahan yang belum optimal.

Pengamanan produksi antara lain dengan memberikan bantuan sarana pascapanen. Upaya melalui perbaikan sistem kelembagaan antara lain dengan memperbaiki sistem lembaga permodalan dan penguatan peran gabungan kelompok petani.

Delapan tahun ke depan, Deptan mengupayakan peningkatan produksi kedelai tiap tahun, yaitu berturut-turut 1 juta ton tahun 2009, 1,2 juta ton (2010), 1,5 juta ton (2011), 1,8 juta ton (2012), 2 juta ton (2013), 2,4 juta ton 2014), dan 2,6 juta ton (2015).

Sutarto menyatakan, untuk padi, target peningkatan produksi tahun 2008 sebesar 5 persen, atau menjadi 61,09 juta ton gabah kering giling (GKG). Produksi GKG tahun 2007 ditargetkan 58,18 juta ton GKG, tetapi berdasarkan angka ramalan III Badan Pusat Statistik baru terealisasi 57,05 juta ton.

Produksi jagung tahun 2008 ditargetkan naik 20 persen dari produksi 2007, yang mencapai 12,3 juta ton.

Sekadar gambaran, rata-rata konsumsi kedelai nasional setiap tahun 1,803 juta ton. Pada periode 2003-2007, puncak konsumsi kedelai nasional terjadi tahun 2005, yakni 1,894 juta ton. Produksi kedelai dalam negeri 2003-2007 hanya mampu memenuhi 36-38 persen dari total konsumsi kedelai nasional.

Adapun produksi jagung diklaim memenuhi konsumsi jagung nasional, baik untuk pakan ternak, sayuran, maupun untuk pangan. Jika terjadi kekurangan suplai, itu akibat buruknya sistem distribusi dan tata niaga jagung.

Hasto Kristianto, anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak sekadar berwacana mengatakan bahwa krisis pangan merupakan gejala dunia. Presiden diharapkan membuat keputusan politik besar yang berpihak kepada petani.

”Presiden bukan menjelaskan ini tantangan global, tapi buat keputusan,” katanya, didampingi anggota Komisi VI Choirul Sholeh dari Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Nasril Bahar dari Fraksi Partai Amanat Nasional.

Hasto menjelaskan, kebijakan politik ekonomi yang berpihak kepada petani, dengan memberikan kepastian suplai pupuk dengan harga terjangkau, kepastian harga pascapanen, dan meningkatkan nilai tambah petani.

Penghematan anggaran

Menteri Koordinator Perekonomian Boediono menyatakan, pemerintah akan menggunakan dana yang dihasilkan dari program penghematan anggaran belanja di kementerian dan lembaga nondepartemen untuk meredam dampak gejolak harga komoditas terhadap masyarakat kecil.

”APBN itu sumber daya yang harus kami optimalkan. Pembangunan infrastruktur harus digenjot di 2008 dan 2009 karena akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Menurut Boediono, optimalisasi APBN akan dilakukan dengan dua langkah. Pertama, mempercepat penyerapan anggaran. Kedua mempertajam program-program yang dapat dibiayai APBN. ”Kami mengupayakan agar anggaran dapat terserap lebih cepat. Sudah ada beberapa departemen melakukan tender sebelum Januari 2008. Realisasi fisiknya diharapkan Januari ini,” katanya.

Penghematan anggaran akan mencapai 15 persen dari anggaran di kementerian dan lembaga nondepartemen. Penghematan anggaran dilakukan dengan memotong alokasi dana pada proyek-proyek yang tidak diperlukan, seperti perjalanan dinas.

Hasil penghematan itu bisa digunakan untuk menambah anggaran subsidi. Namun, keputusan menggunakan hasil penghematan itu harus mendapatkan persetujuan DPR.

Di tempat terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pemenuhan kebutuhan yang mendesak, antara lain kebutuhan pengamanan pangan dan subsidi BBM, dapat dilakukan dengan menyesuaikan pos pengeluaran dan penerimaan dalam APBN 2008. Pemerintah menegaskan harus ada kepastian dalam pengelolaan anggaran sehingga ditetapkanlah defisit APBN 2008 paling tinggi 1,7 persen terhadap PDB.

”Apa pun perkembangan yang terjadi dalam perekonomian di tahun 2008 akan direspons fiskal secara fleksibel. Bentuknya, penyesuaian pada anggaran subsidi, penerimaan pajak, pemberian insentif, atau pendapatan negara bukan pajak,” ujarnya.

Sebelumnya, Menkeu menyatakan akan memotong anggaran kementerian dan lembaga nondepartemen jika harga minyak terus meningkat. Itu dimungkinkan karena anggaran di 78 kementerian dan lembaga nondepartemen merupakan bagian dari APBN yang paling fleksibel untuk diubah jika keuangan pemerintah tertekan gejolak harga minyak.

Sekitar 15 persen dari anggaran kementerian dan lembaga nondepartemen tidak layak menjadi prioritas dan tidak penting untuk dicairkan sehingga proyek-proyek yang dibiayainya kemungkinan besar tidak dilaksanakan. Dengan tindakan itu, ada potensi penghematan Rp 30 triliun.

Jumlah anggaran kementerian dan lembaga nondepartemen dalam APBN 2008 ditetapkan senilai Rp 311,95 triliun. Ini berarti 54,4 persen dari total anggaran belanja pemerintah pusat disalurkan ke kementerian dan lembaga nondepartemen. Total anggaran belanja pemerintah pusat Rp 573,43 triliun.(MAS/OIN/MAM/SUT)

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.01.26.02484330&channel=2&mn=2&idx=2

Kompas 25-Jan-08: Kedelai korban permainan dagang

Jumat, 25/01/2008 15:26 WIB

Kedelai korban permainan dagang

oleh : Djony Edward

BANJARMASIN (Antara): Sejumlah anggota Komisi II bidang ekonomi keuangan DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel), berpendapat, persoalan kedelai yang belakangan ramai menjadi pembicaraan tidak terlepas dari permainan dagang atau pedagang. 

Selain itu, masih kurang seriusnya pemerintah menangani persoalan kedelai tersebut, baik terkait harga maupun upaya peningkatan penanamannya, kata anggota Komisi II DPRD Kalsel, H.Husaini Aliman dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan H.Mardiansyah, SE, MM asal Fraksi Partai Bintang Reformasi (PBR) di Banjarmasin, Jum`at. 

Kedua orang wakil rakyat dari partai yang berbeda itu menunjuk salah satu contoh permainan dagang, ketika para petani menanam kedelai, harga komoditi tersebut menurun atau tidak sesuai biaya produksi yang mereka keluarkan dengan pendapatan/hasil jual. 

Penurunan tersebut dengan berbagai alasan antara lain, kualitas kedelai, produk petani lokal kurang bagus bila dibandingkan dengan eks Pulau Jawa dan impor. 

Sementara pemerintah selain tidak mampu mengendalikan stabilitas harga agar petani tak rugi dan pedagang tak terlalu gemuk, juga terkesan kurang serius memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap petani di daerah agar hasil produksi kedelai mereka betul-betul berkualitas sesuai permintaan pasar. 

Kedua faktor permainan dagang dan kekurang seriusan pemerintah dalam penanganan masalah kedelai tersebut, membuat petani kurang berminat, bahkan cenderung jera untuk mengusahakan penanaman kedelai dengan skala besar atau besar-besaran, kata kedua wakil rakyat dari PAN dan PBR Kalsel tersebut. 

Oleh karenanya agar tak menyalahkan masyarakat petani. Dulu ramai-ramai menanam kedelai, tapi belakangan mereka malas, bahkan beralih usaha lain yang bisa memberikan harapan lebih baik bagi pendapatan keluarga, ujar kedua orang anggota Komisi II DPRD Kalsel itu dalam percakapan dengan ANTARA Banjarmasin. 

"Padahal seperti di Kabupaten Barito Kuala (Batola), Kalsel yang baru-baru ini kami Komisi II melakukan peninjauan ke Kecamatan Wanaraya, hasil tanaman kedelai warga setempat yang mereka suguhkan cukup baik, tak ada bercak-bercak hitam yang membuat mutu komoditi itu menurun," ungkap wakil-wakil rakyat tersebut. 

Hal itu kalau pemerintah melakukan pembinaan dengan baik, seperti turut memberikan bantuan dalam penanganan pasca panen, mencarikan pangsa pasar yang baik, petani daerah pasang surut Batola bisa lebih bergairah melakukan perluasan menanam kedelai, demikian Husaini dan Mardiansyah. 

Di Kalsel beberapa waktu lalu, yang merupakan kantong produksi kedelai antara lain Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Utara (HSU), Batola dan Kabupaten Tanah Laut (Tala). 

Seperti di HSS untuk pengembangan tanaman kedelai memanfaatkan lahan lebak yang berada di kawasan rawa monoton Nagara saat musim kemarau dan Batola dengan lahan pasang surutnya, serta Tala dengan lahan kering yang dikerjakan para transmigran yang sudah puluhan tahun menetap di daerah itu.

http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id40606.html