20 January 2008

Kompas 17-Jan-08: Kedelai Plus LIPI Dapat Tingkatkan Produktivitas

Kedelai Plus LIPI Dapat Tingkatkan Produktivitas
Artikel Terkait:
Kamis, 17 januari 2008 | 22:05 WIB

CIBINONG, KAMIS - Pusat Penelitian (Puslit) Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selama ini mengembangkan kedelai plus. Benih yang telah diproses secara khusus ini mampu melipatgandakan produktivitas dua kali dari rata-rata nasional dari 1,2 ton per hektar (ha) menjadi 2,6 ton hingga 3,6 ton per ha.

"Sudah terbukti ditanam di tempat yang sulit untuk kedelai seperti di Musirawas, Sumsel dan beberapa tempat lain di Jawa sejak 2004," kata Peneliti Puslit Bioteknologi LIPI, Harmastini Sukiman M.Agr, di Cibinong Science Center, Bogor, Kamis (17/1).

Meningkatnya produktivitas, ujarnya, karena benih telah mengandung mikroba rhizobium yang diinjeksi ke dalamnya dengan teknologi vakumisasi sehingga ketika ditanam, kandungan nitrogen di dalam tanahnya meningkat 20 persen dan menjadi subur bagi kedelai. Karakter bakteri rhizobium, ujarnya, bersimbiose dengan tanaman kacang-kacangan dan dapat membantu penyerapan Nitrogen dari udara serta mengubahnya menjadi unsur yang tersedia bagi tanaman.

Cara kerjanya, benih kedelai dari varietas apapun diinsersi oleh bakteri rhizobium BTCC-B64 hasil riset LIPI dengan media pertumbuhan YEM-broth lalu dicampurkan oleh alat pencampur dengan teknologi vakum sehingga dihasilkan kedelai Plus. Keuntungan Kedelai Plus, selain produksi biji yang meningkat, juga mudah ditanam oleh petani, dan kebutuhan pupuk berkurang hingga 60 persen.

Sementara itu, Deputi bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Prof Dr Endang Sukara, mengatakan bahwa sebenarnya pada masa Presiden Megawati, kedelai plus ini telah diperkenalkan, namun entah mengapa hasil riset ini hingga kini tidak dipakai secara massal.

"Ini masalah kebijakan, masalah tata niaga yang lebih mengutamakan impor dalam bentuk kedelai jadi, daripada mengembangkan pertanian kedelai," katanya. Padahal, ia mengingatkan, kedelai yang diimpor itu adalah kedelai hasil rekayasa genetik sementara kedelai plus dalam negeri ini asli hayati.(ANT)

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.01.17.22053221&channel=1&mn=53&idx=16

Kompas 18-Jan-08: Belum Ada Kepastian Perluasan Area Tanam Kedelai (Provinsi NAD)

Belum Ada Kepastian Perluasan Area Tanam Kedelai (Provinsi NAD)
Jumat, 18 januari 2008 | 11:58 WIB

BANDA ACEH, JUMAT–Meski pemerintah pusat sudah menetapkan perluasan area tanam kedelai untuk wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam seluas 100.000 hektar, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NAD belum menentukan lokasi tanam baru tersebut. Kebijakan pemerintah pusat tersebut belum sampai pada petunjuk pelaksanaan teknisnya di tingkat daerah.

Kepala Subdinas Produksi Padi dan Palawija Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NAD Naswir Aiman, Jumat (18/1), mengatakan, kebijakan pemerintah pusat masih sangat baru sehingga informasinya sangat minim. "Belum disosialisasikan kebijakan itu sampai ke daerah. Kami masih bertahan pada angka yang lama, yaitu sekitar 30.000 hektar,” katanya.

Dia mengatakan, perluasan area tanam yang dicanangkan pemerintah pusat tersebut memerlukan penelitian terlebih dahulu karena tidak sembarang wilayah dapat digunakan untuk penanaman kedelai. Selain itu, perluasan area tanam kedelai jangan sampai bersinggungan dengan wilayah tanam padi dan jagung. Apalagi, Pemprov NAD saat ini sedang berupaya untuk mengembangkan komoditas jagung, bekerja sama dengan pemerintah negara Korea Selatan. (MHD)

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.01.18.1158560&channel=1&mn=2&idx=16

Kompas 18-Jan-08: Memungkinkan Swasembada Kedelai Tahun 2010

Memungkinkan Swasembada Kedelai Tahun 2010
Jumat, 18 januari 2008 | 14:59 WIB

BOGOR, JUMAT - Jika kebijakan pertanian tepat, Indonesia tidak akan kekurangan kedelai seperti saat ini. Bahkan, swasembada kedelai di tahun 2010 memungkinkan.

Apalagi, para peneliti di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama mengembangkan bibit kedelai unggul yang tidak kalah dengan kedelai impor. Kualitas kedelai lokal bisa lebih baik dibandingkan dengan kedelai impor dengan metode pengelolaan benih yang lebih baik. Biaya tanam juga bisa ditekan dengan pola tanam organik yang tidak tergantung kepada pupuk kimia.

Misalnya, pengembangkan benih kedelai plus yang telah dikembangkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak tahun 1990-an. Kedelai plus ini sendiri adalah kedelai lokal yang dibekali dengan mikroba yang berpotensi melakukan proses penambatan nitrogen secara hayati (bakteri Rhizobium yang terdapat dalam tanah).

Hasil pengujian benih kedelai plus di tingkat lapangan menunjukkan bahwa bakteri Rhizobium berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kedelai dan produksi biji. Penelitian ini sudah ada sejak tahun 90-an, tetapi sosialisasi kepada masyarakat masih kurang.

“Dana penelitian ini memang berasal dari pemerintah akan tetapi pengaplikasiannya dan pengorperasiaannya ke masyarakat itu tidak ada. Sehingga banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang kedelai plus ini. Biasanya para petani yang sudah tau, membeli bibit kedelai plus yang sudah diinsersi, agar mudah untuk dipergunakan,” ujar Prof. Dr. Bambang Prasetya, Direktur Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, kemarin.

Permasalahan produksi kedelai nasional seperti hama dan penyakit kedelai yang cukup besar, biji kedelai lokal yang kecil-kecil, harga benih kedelai yang ditetapkan oleh pemerintah sangat rendah, harga kedelai impor yang transgenik selalu lebih rendah dibandingkan harga kedelai lokal yang lebih segar, dan tidak adanya lembaga kedelai nasinal merupakan permasalahan bersama yang harus disikapi secara baik oleh semua kalangan masyarakat.

Upaya membangun produksi kedelai nasional yang mandiri dan efektif, menurut Deputi Ilmu Pengetahuan LIPI, Prof. Dr. Endang Sukara, dimulai dengan meningkatkan produktivitas kedelai nasional, mengatasi penurunan kesuburan lahan dan lahan pertanian yang telah rusak, karena petani Indonesia banyak menggunakkan pupuk kimia dan pestisida sehingga mengurangi unsur hara dalam tanah, membangun Seed Center dan eksplorasi benih kedelai unggul nasional, serta menambah perluasan lahan tanam kedelai di lahan yang baru.

“Dengan strategi-strategi yang ada tadi, mudah-mudahan dapat mewujudkan kemandirian kedelai nasional yang dapat menjadi suatu strategi yang cukup baik dalam mencapai swasembada kedelai tahun 2010 nanti.” ungkap Prof. Dr. Endang Sukara.(M1-08)

Kompas 17-Jan-08: Kedelai Lokal Lebih Baik Daripada Kedelai Impor

Kedelai Lokal Lebih Baik Daripada Kedelai Impor
Kamis, 17 januari 2008 | 21:25 WIB

BOGOR, KAMIS - Kedelai lokal lebih baik dibanding kedelai impor, kata Deputi bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Prof Dr Endang Sukara di Cibinong Sciense Center Bogor, Kamis (17/1).

"Kedelai lokal lebih baik karena umumnya kedelai yang tersedia  adalah kedelai yang baru saja dipanen sehingga lebih segar, sementara kedelai impor biasanya sudah disimpan bertahun-tahun," katanya.

Dari segi bentuk dan ukuran, menurut dia, saat ini juga sudah banyak kedelai lokal yang berukuran sedang bahkan sama dengan ukuran biji kedelai impor sebesar 16-22 gram per 100 biji sesuai varietasnya.

Anggapan bahwa biji kedelai produksi Indonesia kecil-kecil dan tak disukai oleh industri tempe yang terbiasa dengan kedelai berbiji besar (impor) juga tidak benar, apa lagi ditambah alasan bahwa mutu dan gizi kedelai lokal tidak sesuai dengan industri tempe-tahu.

"Tempe dan tahu yang pada awalnya dikembangkan oleh masyarakat Jawa adalah dari kacang kedelai lokal yang berukuran kecil, tetapi dengan adanya kedelai impor yang ketersediaannya terjamin maka minat masyarakat bergeser ke kedelai impor, ditambah lagi harganya "dumping" dan terdapat keseragaman kualitas," katanya.  

Ia menambahkan, kedelai yang ukurannya kecil-kecil itu sebenarnya lebih banyak mengandung protein dan rasanya lebih gurih. Apalagi, kedelai lokal merupakan kedelai asli hayati dan bukan kedelai transgenik seperti kedelai impor. Kedelai yang ditanam di negara-negara maju 80 persen adalah organisme yang telah dimodifikasi secara genetik (GMO).

"Pertanian hasil rekayasa genetik dan pangan GMO sampai saat ini masih pro-kontra, karena manusia sulit meramal masa depan. Jadi dengan kedelai lokal tak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya.

Kompas 17-Jan-08: Tidak Benar, Kedelai Tanaman Subtropis

Tidak Benar, Kedelai Tanaman Subtropis
Kamis, 17 januari 2008 | 22:07 WIB

BOGOR, KAMIS - Tidak sepenuhnya benar anggapan bahwa tanaman kedelai merupakan tanaman yang hanya cocok tumbuh dan berproduksi tinggi di negara-negara subtropis (berhawa dingin) dan kurang cocok jika ditanam di Indonesia.

"Risetnya sudah ada, jadi dengan teknologi yang tepat, kedelai yang ditanam di Indonesia mampu mencapai produksi lebih dari tiga ton per hektar bahkan dalam beberapa kasus percobaan produksi kedelai bisa melampaui 4,5 ton per hektare," kata Deputi bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Prof Dr Endang Sukara di Cibinong Sciense Center Bogor, Kamis (17/1).

Produktivitas rata-rata kedelai nasional yang rendah hanya 1,2 ton per hektare dibanding AS yang mencapai 2,3 ton per hektare, ujarnya, karena petani dalam negeri kurang berminat menanamnya sebagai tanaman yang utama.

"Ini terkait tata niaga kedelai yang tak menguntungkan petani, impor lebih diutamakan, tak ada kebijakan nasional untuk berupaya mengembangkan swasembada kedelai," katanya.

Menurut dia, di masa lalu di negara-negara sub tropis sekali pun sulit menanam kedelai karena sangat rentan dengan hama dan penyakit, jadi kasus hama penyakit kedelai bukan saja masalah negara-negara tropis.

Kemudian negara-negara maju tersebut menerapkan rekayasa genetika terhadap kedelai sehingga resisten hama dan herbisida. Kedelai yang ditanam di negara maju 80 persen adalah organisme yang telah dimodifikasi secara genetik (GMO).

Soal GMO, menurut dia, Indonesia belum perlu melakukannya, karena dengan riset yang sudah ada saja sebenarnya sudah cukup untuk meningkatkan produktivitas kedelai nasional menjadi lebih dari dua kali lipat.

Permasalahannya adalah penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah, lemahnya permodalan bagi petani untuk menanam kedelai berhubung tidak ada kredit yang bersedia menjaminnya.

"Sementara itu, harga kedelai impor selalu lebih rendah dari kedelai lokal petani, akibat berbagai fasilitas  seperti kredit impor, fasilitas GSM, Triple C, PL-480, LC mundur dan lain-lain dari negara produsen serta bea masuk kedelai yang sempat nol persen sehingga makin menyulitkan petani lokal dan membuat mereka beralih ke komoditas lain," katanya.

Ditambah lagi, persoalan kelangkaan benih saat musim tanam terkait harga benih kedelai yang ditetapkan pemerintah sangat rendah yakni 4.500 rupiah per kilo di produsen padahal untuk memproduksi benih sulit dan beresiko.
   
Untuk mencapai swasembada kedelai sebenarnya hanya diperlukan luas tanam satu juta hektar dengan produktivitas 2,5-3 ton per ha, sementara saat ini luas areal tanam kedelai 600 ribu ha dengan produktivitas 1,19 ton per ha.  ABD

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.01.17.22073392&channel=1&mn=20&idx=16

Kompas 18-Jan-08: Pemerintah Harus Beri Insentif Petani Kedelai

Pemerintah Harus Beri Insentif Petani Kedelai
Jumat, 18 januari 2008 | 15:35 WIB

JAKARTA,JUMAT - Pemerintah diminta memberikan insentif kepada petani kedelai jika ingin mendongkrak produksi komoditas pangan tersebut. Tenaga Ahli Menteri Pertanian Bidang Budidaya Tanaman, Baran Wirawan di Jakarta, Jumat (18/1) menyatakan, salah satu faktor penyebab rendahnya produksi kedelai nasional selama ini karena petani enggan menanamnya. "Petani tidak tertarik memproduksi kedelai karena tidak menguntungkan, terlebih lagi harus bersaing dengan produk impor," katanya.
     
Kondisi tersebut mengakibatkan produksi dalam negeri rendah bahkan tidak mampu mencukupi kebutuhan kedelai nasional yang setiap tahunnya mencapai dua juta ton. Sementara itu produksi kedelai nasional setiap tahun hanya sekitar 600 ribu ton sehingga untuk mencukupi kekurangan dalam negeri harus mengimpor sekitar 1,2 juta ton per tahun. "Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kedelai impor tersebut akhirnya merugikan kita ketika harga melambung seperti saat ini," katanya.
     
Tak hanya itu, tambahnya, usaha budidaya kedelai juga kurang menguntungkan dibanding dengan pertanian tanaman pangan lain seperti padi dan jagung. Dia mengungkapkan jika produksi padi sekitar enam ton per hektar sementara harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen sebesar Rp2000/kg maka petani padi mendapatkan penghasilan Rp12 juta per hektar.

Begitu juga dengan tanaman jagung dengan produktivitas lahan enam ton per hektar dan harga Rp2000/kg maka pendapatan yang diperoleh petani mencapai Rp12 juta. Sedangkan petani kedelai dengan produktivitas lahan satu ton per hektar sementara harga Rp4000/kg hanya mendapatkan penghasilan Rp4 juta.

Menurut dia, selama ini pemerintah banyak memberikan kemudahan kepada kedelai impor sementara kedelai dalam negeri tidak mendapatkan insentif apapun. Baran mengungkapkan, sebenarnya sejak dua tahun lalu Departemen Pertanian telah menetapkan program Kedelai Bangkit untuk meningkatkan produksi dalam negeri. "Namun karena karena tidak ada insentif yang memadai maka Kedelai tidak bisa bangkit sepenuhnya," katanya.

Menurut dia, insentif untuk kedelai tersebut selain di sektor produksi juga diperlukan pada sektor pemasaran maupun pembiayaan. Untuk melaksanakan Program Bangkit Kedelai, lanjutnya, memerlukan perhatian yang serius tidak hanya dari Deptan namun juga instansi lain seperti Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian maupun lembaga pembiayaan.

Menyinggung bentuk insentif yang bisa diberikan ke petani untuk mengatasi persoalan yang terjadi saat ini, Baran mengatakan, salah satunya berupa insentif harga sehingga menguntungkan petani produsen namun tetap tidak memberatkan produsen tahu/tempe selaku konsumen kedelai. Selain insentif ke petani, menurut dia, untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri perlu dukungan infrastruktur maupun teknologi benih.

Sementara itu mengenai perlunya harga patokan kedelai untuk meredam melambungnya harga komoditas tersebut saat ini, dia mengatakan, dengan besaran Rp5.500-Rp6.000/kg sudah cukup menguntungkan petani. "Jika budidaya kedelai menguntungkan mudah-mudahan perbankan tertarik memberikan kemudahan pembiayaan," katanya.


EDJ
http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.01.18.15351915&channel=1&mn=15&idx=16

Kompas 18-Jan-08: Kedelai Lokal Ternyata Anak Tiri

Berita Utama
 Jumat, 18 Januari 2008

Nasib Petani
Kedelai Lokal Ternyata Anak Tiri

Antony Lee dan Hendriyo Widi

Mbah Harjo (80) cepat-cepat menutup tumpukan kedelai yang baru dipanennya dengan terpal ketika hujan turun deras, Kamis (17/1) siang. Warga Desa Gunung, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, ini sudah tak sabar menjual kedelai miliknya lantaran harga jual sedang tinggi, hampir dua kali lipat dari harga jual tahun lalu.

Laki-laki bernama lengkap Harjo Sukirno ini rutin menanam kedelai di lahan 1.000 meter persegi miliknya. Bertahun-tahun ia setia menanam kedelai meski harga jual kedelai lebih sering tak imbang dengan biaya tanam.

Tahun lalu, misalnya, ia mengeluarkan Rp 20.000 untuk membeli 5 kilogram bibit. Belum obat pembasmi hama. Dari bibit itu, hasilnya kedelai enam gojok, sekitar 42 kilogram (kg) kedelai. Setiap gojok laku terjual Rp 27.000. Total ia hanya mendapat sekitar Rp 162.000 untuk kerja merawat kedelai sekitar empat bulan. "Sebenarnya rugi, tapi saya ini tani bukan pedagang. Yang penting hasilnya ada. Kalau hasil tani laku, ya senang."

Saat harga kedelai naik tajam hingga Rp 7.500 per kg, Mbah Harjo ikut senang. Hampir setiap hari ia menonton televisi untuk mengikuti perkembangan harga. Meski hasil kedelainya tahun ini tak terlalu banyak, sekitar 35 kg, ia tetap senang.

Kenaikan harga kedelai membuat Mbah Harjo menjadi perhatian warga petani sekitarnya yang telah meninggalkan tanaman kedelai. "Hanya cukup pembeli bumbu dapur," kata Mbah Harjo.

Slamet Raharjo (54), warga RT 11 RW 4 Dukuh Gunung, Boyolali, musim tanam ini juga mulai menanam jagung di lahan 4.000 meter persegi. Selain jagung, ia menanam singkong dan kedelai. Untuk kedelai, ia hanya menyebar 1 kg benih dengan hasil sekitar 14 kg. Tahun lalu ia memperoleh hasil delapan gojok kedelai. Dengan harga Rp 4.000 per kg, ia memperoleh Rp 224.000.

Kondisi ini berbeda dengan salah satu sentra pertanian kedelai di Kabupaten Grobogan, Jateng. Ny Khoirun (40) tersenyum lega setelah menerima Rp 3.720.000 dari pengepul kedelai. Saking gembiranya, warga Desa Lodran, Kecamatan Pulokulon, itu turut menggendong beberapa karung kedelai ke atas truk.

Setelah menggendong kedelai ke truk, Ny Khoirun terengah-engah di depan pintu rumah. "Bungah, Mas. Sak kilo, delene payu Rp 6.200. Tahun wingi mung payu Rp 3.200 (Rasanya senang sekali, Mas. Satu kilogram kedelai laku Rp 6.200. Tahun lalu hanya laku Rp 3.200 per kg)," kata Ny Khoirun.

Ny Khoirun dan suaminya bersyukur karena tidak semua tanaman kedelainya kebanjiran. Tahun ini lahan sekitar 1 hektarnya membuahkan 6 kuintal kedelai jenis Malabar versi Grobogan. Ny Khoirun berharap harga kedelai tahun depan lebih tinggi. Tapi ia juga minta agar pemerintah memerhatikan kedelai dari desa, bukan hanya kedelai dari luar negeri.

Kegembiraan dan harapan juga dilontarkan Irshan (40), petani Desa Jetaksari, Kecamatan Pulokulon. Kedelainya laku Rp 6.500 per kilogram.

Bagi Irshan, selama ini pemerintah menganaktirikan kedelai lokal. Saat kedelai impor mahal dan sulit dicari, pemerintah kebingungan. Saat harga kedelai lokal naik dan produksi berkurang, pemerintah diam saja.

Padahal, menurut Sekretaris Kelompok Tani Kabul Lestari Ali Muctar, kedelai lokal, yaitu kedelai Malabar versi Grobogan, tak kalah dari kedelai impor. Produksi kedelai itu per hektar dapat mencapai 3-3,5 ton, berbeda dengan kedelai lain hanya 2-2,8 ton per hektar.

Hasil terbaik panen kedelai Malabar versi Grobogan berada di Desa Panungalan, Kecamatan Pulokulon. Kelompok Tani Kabul Lestari yang total luas lahannya 56 hektar, misalnya, dapat memproduksi rata-rata 3,148 ton kedelai per hektar. Tahun lalu produksi kedelai hanya 3,032 ton per hektar.

Wakil Bupati Grobogan Icek Baskoro mengemukakan, sejak Desember 2007 hingga pertengahan Januari 2008, petani kedelai Grobogan panen raya atas lahan 10.000 hektar lebih. Diharapkan panen raya menghasilkan 13.831 ton kedelai dan mendongkrak harga kedelai lokal rata-rata Rp 5.000 per kg.

Ini penting karena kedelai menempati produk unggulan pertanian ketiga setelah padi dan jagung di Grobogan. Pemerintah Kabupaten Grobogan tengah mengupayakan agar benih kedelai Malabar bersertifikat. (WHO)


http://www.kompascetak.com/kompas-cetak/0801/18/utama/4173463.htm

Kompas 19-Jan-08: Bahan Pakan Terus Naik (Juga ke Perikanan)

Bahan Pakan Terus Naik
Sabtu, 19 januari 2008 | 01:42 WIBtes

Jakarta, Kompas - Hampir semua harga komponen bahan baku pakan ternak naik. Meningkatnya harga bahan baku pakan itu membuat peternak unggas dalam posisi terjepit. Untuk dapat bertahan menjalankan peternakannya, mereka harus menaikkan harga jual daging ayam dan telur.

Padahal, di sisi lain, daya beli masyarakat semakin lemah karena kenaikan harga berbagai bahan pangan seperti beras, minyak goreng, minyak tanah, sayur-mayur, tempe dan tahu, daging, serta susu.

”Saat ini harga pakan Rp 4.000 per kilogram atau naik Rp 900 dibandingkan dengan enam bulan lalu. Mulai awal 2007 harga terus naik sampai sekarang,” ungkap Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Budiarto, Jumat (18/1) di Medan, Sumatera Utara.

Menurut Budiarto, harga pakan kemungkinan masih akan naik lagi Rp 300 per kilogram. ”Perusahaan pakan hanya menunggu situasi pasar membaik,” katanya.

Dari tujuh komponen bahan baku pakan, enam di antaranya harganya naik, yaitu jagung, bungkil kedelai (soybean meal/ SBM), tepung daging dan tulang (meat and bone meal/MBM), corn gluten meal (CGM), tepung daging unggas (poultry meat meal/ PMM), dan CPO. Hanya harga dedak yang belum naik.

Kenaikan itu membuat biaya produksi peternakan juga ikut naik sebab 51,4 persen pakan ternak berasal dari jagung dan 18 persen berupa bungkil kedelai. Sisanya, tepung ikan 5 persen, tepung daging dan tulang 5 persen, CGM 7 persen, serta CPO 1-2 persen. Selebihnya dedak.

Empat komponen bahan baku pangan sebagian harus diimpor. Jagung, misalnya, dari 3,6 juta ton untuk kebutuhan pakan sekitar 1,77 juta di antaranya dipenuhi dari impor.

Tahun 2008 kebutuhan jagung diproyeksikan 4,07 juta ton, bungkil kedelai 1,62 juta ton, pollard 1,81 juta ton, dedak 1,21 juta ton, tepung ikan 0,4 juta ton, serta MBM dan PMM 0,4 juta ton.

83 pakan unggas

Budiarto mengatakan, kenaikan harga pakan akan memukul usaha peternakan, terutama ternak unggas. Pasalnya, biaya pakan merupakan 70 persen dari biaya produksi peternakan.

Sekitar 83 persen produksi pakan nasional diserap oleh peternakan unggas. Selebihnya, 6 persen untuk peternakan babi, 3 persen untuk sapi perah, 7 persen untuk akuakultur, dan 1 persen untuk jenis ternak lain.

Perikanan terimbas

Kenaikan harga pakan tidak hanya memukul peternak, tetapi juga pembudidaya ikan. Menurut Koordinator Sosial Ekonomi dan Budaya Dewan Pengurus Harian Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Arif Satria, krisis kedelai dan harga bahan pakan lainnya akan berdampak pada perikanan budidaya.

Sebab, kedelai merupakan sumber protein yang menjadi substitusi tepung ikan dalam pakan ikan. Sebanyak 15-20 persen pakan ikan terdiri dari kedelai.

”Kenaikan harga kedelai merugikan dari sisi ekonomis dan ekologis,” tutur Arif.

Ia mengatakan, kedelai bisa menjadi substitusi untuk kebutuhan pakan sehingga dapat mengurangi eksploitasi terhadap sumber daya ikan di laut untuk kebutuhan pakan.

Oleh karena itu, Arif mengimbau agar Departemen Kelautan dan Perikanan turut memikirkan jalan keluar dari krisis kedelai.

”Ini juga berdampak pada perikanan. Sebab, kandungan alternatif non-ikan dalam kandungan pakan ikan sudah menjadi tren di dunia, yang sangat sensitif terhadap masalah ekologis,” ujar Arif. (MAS/RYO)

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.01.19.0142324&channel=2&mn=3&idx=3

Kompas 18-Jan-08: Gonjang-ganjing Republik Tempe (Opini Khudori)

Opini
 Jumat, 18 Januari 2008

Gonjang-ganjing Republik Tempe

Khudori

Kita bukan bangsa tempe," seru Presiden Soekarno suatu ketika. Saat itu sebutan bangsa tempe memang buruk. Citra itu masih lestari hingga kini, seperti ungkapan "mental tempe", mental lemah.

Boleh jadi, karena citra itu, kita tidak pernah serius me-leluri kedelai, bahan inti tempe-tahu. Maka, saat harga kedelai naik, tempe-tahu hilang. Produsen/pedagang tempe-tahu mogok dan demonstrasi.

Kenaikan harga kedelai memang jauh dari toleransi. Dalam setahun, harga naik 218 persen. Upaya menekan margin keuntungan dan kapasitas produksi, mengurangi ukuran, dan menurunkan mutu produk tidak lagi menolong. Dari sisi input, harga semua bahan perantara industri ini naik, seperti minyak goreng, minyak tanah atau gas, terigu, gula, dan telur.

Sentuhan teknologi

Di sisi lain, menaikkan harga terkendala daya beli yang rendah. Lagi pula, tidak seperti sektor yang entry-exit barrier-nya tinggi, konsumen sektor ini peka harga (price elastic). Ketika harga naik permintaan turun. Satu-satunya jalan hanya menutup usaha.

Barisan penganggur pun bertambah karena sektor ini menghidupi ratusan ribu rakyat, dari petani kedelai, produsen tempe-tahu-kecap, pedagang, hingga penjual gorengan.

Dari sisi kesehatan, peran tahu-tempe amat penting. Kandungan gizi dan vitaminnya amat tinggi. Ia bisa menjadi makanan diet. Profesor Hembing Wijayakusuma menjuluki tempe makanan super, karena tak tertandingi makanan sejenis.

Dari sisi harga, protein tempe jauh lebih murah ketimbang telur dan daging. Karena itu, tempe sebenarnya bisa jadi solusi masalah kekurangan energi protein warga miskin.

Sejak 1980-an, Belanda, AS, Malaysia, Jepang, dan Singapura mengembangkan tempe. Dengan delapan asam amino esensial—di antaranya thianisin (vitamin B1), ribovlafin (B2), asam pantotenat, asam nikotinat, pirodiksin (B6), dan vitamin B12—dan antioksidan isoflavon, vitamin D, E, dan sterol, tempe diracik sebagai makanan diet, makanan antidegeneratif, antikanker dan tumor. Tidak seperti di sini, dari zaman baheula pun wujudnya tidak berubah (generasi I). Di luar negeri tempe diproduksi secara industrial ke generasi II dan III. Di Jepang, misalnya, tempe telah diolah jadi miso tempe. Itu menandakan ada sentuhan ilmu dan teknologi dalam produksi tempe, ada keseriusan mengembangkan tempe jadi makanan bermutu tinggi. Karena itu, tidak heran, meski tempe ditemukan di Jawa (Encyclopedia van Nederlandsch Indie, 1922), hanya ada tiga paten tempe yang terdaftar atas nama periset Indonesia. Sedangkan yang dikantongi Jepang, AS, dan Jerman 15 buah paten. Apa ini cermin ketidakseriusan kita?

Tidak serius

Jejak ketidakseriusan mengembangkan tempe-tahu tampak jelas pada kedelai. Sepanjang Orde Baru, kedelai—juga jagung dan tanaman pangan lain—sifatnya sekunder. Fokus kebijakan saat itu at all cost pada beras. Tidak ada kebijakan khusus mengembangkan kedelai, termasuk melindungi petani dari gempuran pasar global. Petani yang menanam kedelai selalu merugi. Akibatnya, luas lahan kedelai merosot. Tahun 1992 luas panen 1.665.706 hektar, pada 2007 tinggal 456.824 hektar (27,4 persen). Produksi 2007 melorot, tinggal 608.555 ton. Padahal, kebutuhan kedelai domestik 1,8 juta ton.

Kealpaan membuat kebijakan kedelai sebagai bagian pembangunan ketahanan pangan berlanjut hingga kini. Pembiaran itu berujung ketergantungan hampir mutlak pada impor kedelai dari AS. Argumen di balik kebijakan ini adalah soal daya saing. Karena harga impor lebih murah ketimbang harga petani domestik, serta-merta kedelai petani dicap tidak efisien. Argumen ini ceroboh dan sesat.

Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa jadi ukuran daya saing karena terdistorsi subsidi. Di AS, kedelai adalah satu dari 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi. Dari 24,3 miliar dollar AS subsidi pada 2005 sekitar 70 persen-80 persen diterima 20 komoditas ini. Ujung beleid ini adalah dumping. Setelah Farm Bill 1996, dumping kedelai AS naik dari dua persen jadi 13 persen.

Untuk menjaga pendapatan petani, AS meluncurkan kredit ekspor. Pada 2001, kredit ekspor mencapai 750 juta dollar AS. Fasilitas khusus ini diberikan kepada importir kedelai Indonesia. Saat itu harga impor cuma Rp 1.950 per kg, sementara harga kedelai lokal Rp 2.500 per kg.

Disparitas harga yang tinggi membuat ngiler siapa pun untuk mengimpor. Kebijakan ini kita terima begitu saja tanpa mempertimbangkan dampaknya di kemudian hari. Bea masuk 5 persen-10 persen sama sekali tidak bisa melindungi petani dari gempuran impor.

Kini, saat sebagian kedelai di AS dipakai biofuel guna mengejar target produksi 35 miliar galon per tahun, kita merasakan dampaknya. Tidak ada cara mudah untuk keluar dari masalah ini.

Politik pembiaran (hands-of economic policy) telah menghancurkan modal sosial petani kedelai. Liberalisasi tak terkendali berujung pada destabilisasi harga. Pembebasan bea masuk dipastikan tidak banyak menolong. Untuk keluar dari masalah ini, tak ada cara lain, harus dirakit kebijakan komprehensif di level usahatani, distribusi, stok, dan perdagangan. Tanpa itu, gonjang-ganjing tempe di republik ini selalu berulang.

Khudori Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Jember

http://www.kompascetak.com/kompas-cetak/0801/18/opini/4173064.htm

Kompas 18-Jan-08: Penelitian Jangan Cuma Jadi Catatan

Nusantara
 Jumat, 18 Januari 2008

Penelitian Jangan Cuma Jadi Catatan

Enong (49), pedagang sekaligus produsen tahu, duduk menyangga dagu di Pasar Cihaurgeulis, Kota Bandung, Jawa Barat. Enong sedang mengingat-ingat tahun 1994 saat pertama kali memproduksi tahu. Kala itu, ia menggunakan kedelai lokal dari Cianjur dan Garut.

"Hasilnya bagus dan enak lagi. Tidak tahu kenapa, kedelai lokal kemudian susah ditemukan," kata Enong.

Sudah sekitar 10 tahun ia menggunakan kedelai impor asal Amerika Serikat yang kini harganya tak menentu. Pada Juni 2007 masih Rp 3.500 per kilogram (kg), saat ini terus meroket hingga mencapai Rp 7.500.

Sejak awal Januari, Enok sibuk menghitung keuntungan yang makin menipis. "Saya dan suami terus berpikir, pabrik tahu kami sebaiknya ditutup atau dilanjutkan," ujar Enong.

Ia berharap, agar perekonomian rakyat stabil, pemerintah meningkatkan pertanian kedelai lokal. "Tahu dan tempe makanan rakyat. Saya harap kedelai lokal banyak lagi di pasar agar kita tidak bergantung pada kedelai impor. Harga untuk petani kedelai jangan ditekan karena mereka juga butuh makan. Kita bekerja sama saling menguntungkan saja," katanya.

Harapan yang sama juga dinyatakan Tari (28), pekerja di pabrik tempe Arema, Bandung. Tari mengatakan, pada 1967 nenek dan kakeknya membangun pabrik. Hingga 1990-an, mereka membuat tempe dari kedelai lokal. "Saya pernah mencoba makan tempe dari kedelai lokal. Lebih enak dan gurih, tetapi bulir kacangnya memang lebih kecil, jadi kurang terlihat," kata Tari.

Menurut Wim (75), pelanggan tempe Arema yang sering bolak-balik Indonesia–Amerika Serikat, sebagai vegetarian sudah 20 tahun ia tidak bisa melepaskan diri dari tempe. Ia kagum melihat pertanian kedelai sepanjang California hingga Washington. Ia berpendapat, di Indonesia banyak lahan tidur. Mungkin ada sebagian lahan tidur yang bisa ditanami kedelai. Karena hampir semua orang Indonesia makan tempe dan tahu, Wim yakin pertanian kedelai Indonesia harus maju.

Pengganti kedelai

Prof Dr Imas Siti Setiasih, ahli Teknologi Pangan dan Gizi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, mengemukakan, tempe dan tahu merupakan sumber protein yang enak dan murah. Asam amino dalam tempe dan tahu mirip dengan daging.

Protein dibutuhkan oleh tubuh sebagai zat pembangun. Bagi orang tua, protein berguna untuk regenerasi sel, sementara bagi anak-anak protein berguna untuk pembentukan sel baru. Fungsi protein begitu besar bagi tubuh.

Imas menambahkan, jika kedelai cukup mahal, masih banyak penghasil protein lain dari kacang-kacangan. Di antaranya adalah kacang hijau, kecipir, dan kacang koro.

Di laboratorium Fakultas Pertanian Unpad, ketergantungan terhadap kedelai impor sudah diantisipasi dengan membuat alternatif tempe dan tahu dari campuran kedelai dan kacang-kacangan lainnya.

Salah satu yang telah berhasil dilakukan adalah membuat tahu dan tempe dari campuran 60 persen kedelai dan 40 persen kacang koro, 70 persen kedelai dan 30 persen kecipir, serta kurang dari 50 persen kacang hijau dan kedelai.

Imas mengatakan, unsur gizi dalam kedelai lokal ataupun impor sama saja. Hanya bulir kedelai impor lebih besar sehingga lebih menarik. Untuk menghasilkan kedelai lokal dengan bulir besar, tetap bisa diupayakan. Di fakultasnya, penelitian mengenai pertanian kedelai tak pernah berhenti. Kedelai lokal dan impor terus dikawinkan. Hasilnya pun cukup baik.

"Saya harap pemerintah bisa mengupayakan kesejahteraan rakyat, bekerja sama dengan perguruan tinggi. Banyak hasil penelitian yang bisa diterapkan. Jangan sampai hasil penelitian, seperti kedelai, hanya selesai sebagai catatan," kata Imas. (Yenti Aprianti)


http://www.kompascetak.com/kompas-cetak/0801/18/daerah/4173384.htm

Kompas 18-Jan-08: Perajin Tahu dan Tempe Diberi Subsidi

Nusantara
 Jumat, 18 Januari 2008

Perajin Tahu dan Tempe Diberi Subsidi

Mataram, Kompas - Pemerintah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, dan Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, memberi subsidi kepada perajin tahu dan tempe. Bantuan diberikan agar perajin dapat meneruskan usahanya di tengah melambungnya harga kedelai belakangan ini.

Pemerintah Kota (Pemkot) Mataram akan memberi subsidi dalam waktu satu-dua hari ini. Subsidi Rp 1.000 per kilogram (kg) diberikan untuk perajin tahu-tempe yang membeli kedelai.

Sementara Pemerintah Kabupaten Bantul akan memprogramkan pengadaan subsidi kepada produsen tahu dan tempe agar mudah mendapatkan bahan baku itu. Kebijakan ini mulai bergulir pertengahan Februari.

"Ini upaya emergency, mengingat besarnya efek ganda jika kegiatan usaha tahu dan tempe macet. Untuk jangka pendek dan panjangnya, instansi teknis agar mendorong perluasan areal tanam kedelai di NTB," ujar Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan NTB Syarifuddin, Kamis (17/1) di Mataram. Ia mengemukakan itu dalam rapat yang dihadiri instansi terkait guna membantu produsen tahu dan tempe yang kesulitan membeli kedelai karena harganya naik.

Disepakati pula untuk memotong rantai pemasaran kedelai sehingga kebutuhan kedelai dapat diperoleh langsung dari distributor. Semula perajin membeli kedelai dari pengecer yang mengambil dari distributor. "Dengan dipangkasnya rantai pemasaran, bisa menekan harga jual kepada perajin," kata Syarifuddin,

Bupati Bantul Idham Samawi menyebutkan, pemerintah kabupaten harus berinisiatif membantu penyelesaian kenaikan harga kedelai impor sebisa mungkin. Ini juga beranjak dari kenyataan, pihaknya tak bisa memaksa semua petani menanam kedelai.

"Harga kedelai impor di pasaran naik dan imbasnya dialami masyarakat. Atas alasan itu, kami memberikan subsidi kepada produsen tahu tempe," ujar Idham.

Untuk pendanaan program tersebut, pihaknya akan mengambil dari dana tak tersangka di APBD. Idham belum bisa memastikan berapa besar anggaran yang digunakan. (rul/pra)

http://www.kompascetak.com/kompas-cetak/0801/18/daerah/4173419.htm