24 January 2008

Kompas 23-Jan-08: Peran Bulog Harus Permanen

Peran Bulog Harus Permanen
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA / Kompas Images
Menko Perekonomian Boediono (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, (tengah) dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyampaikan hasil rapat koordinasi bidang ekonomi di Gedung Departemen Keuangan, Jakarta, Selasa (22/1). Rakor pertama tahun 2008 antara lain menyusun konsep fokus program ekonomi 2008 dan 2009.
Rabu, 23 januari 2008 | 04:19 WIB

Jakarta, Kompas -Pengendalian harga kedelai bergantung pada penyediaan pasokan, pengelolaan stok, dan jaringan distribusi. Karena itu, apabila pemerintah memang serius mau menjaga stabilitas harga kedelai dalam negeri, pelibatan Perum Bulog sebagai stabilisator harga jangan bersifat insidental, tetapi berkelanjutan.

Penegasan itu disampaikan Dirut Perum Bulog Mustafa Abubakar, Selasa (22/1), dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR.

Selain dengan Bulog, raker juga melibatkan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Pertanian Anton Apriyantono, serta Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali.

Menurut Mustafa, penugasan berkelanjutan akan memberikan keleluasaan bagi Bulog untuk mengelola stok dan membangun jaringan distribusi.

Secara nyata Bulog juga bisa langsung terjun ke lapangan untuk membeli kedelai dari petani sehingga ada jaminan pasar dalam bentuk jaminan harga dan jaminan pembelian barang.

”Dengan begitu, petani lebih bersemangat menanam kedelai dan produksi akan meningkat karena ada kepastian bagi petani dalam menjalankan usaha taninya,” jelasnya.

Bagaimanapun, lanjut Mustafa, stabilisasi harga kedelai mendesak dilakukan. Selain untuk menjaga semangat petani berproduksi juga untuk menahan laju peningkatan harga kedelai agar tidak liar. ”Fluktuasi harga kedelai menyulitkan perajin tahu- tempe dalam menjalankan usahanya karena tidak ada kepastian harga,” katanya.

Para perajin makanan berbasis kedelai saat ini kelimpungan dalam menentukan harga produknya. Kalwi, perajin tempe di Kebon Bawang, Jakarta Utara, mengatakan, setiap hari kedelai yang diolah menjadi tempe mencapai 2 kuintal.

Kini jumlah kedelai yang diolah terus menurun. ”Mau bagaimana lagi, harga kedelai cenderung naik setiap hari. Hari ini bisa membeli Rp 7.300 per kilogram, sorenya harganya naik menjadi Rp 7.500 per kilogram,” ujar Kalwi.

Mustafa menjelaskan, pascaderegulasi tata niaga kedelai yang ditandai dengan ”pemeretelan” peran Bulog, tata niaga kedelai tidak pernah berpihak kepada petani.

Tekanan belum berakhir

Hal ini berawal dari penandatanganan letter of intent (LoI) antara Dana Moneter Internasional (IMF) dan Pemerintah Indonesia pada 31 Oktober 1997.

Ketika itu IMF mendesak Indonesia menghapus monopoli impor, pemasaran, dan pengendalian harga komoditas pertanian termasuk kedelai. Pengecualian hanya berlaku untuk beras, gula pasir, dan cengkeh.

Pada 15 Januari 1998, IMF kembali melakukan ”serangan”. Peran Bulog kembali dikebiri. Monopoli impor, pemasaran, dan pengendalian harga oleh Bulog hanya berlaku pada komoditas beras saja.

Mengacu pada LoI itu, pemerintah pun menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998 yang memberi tugas Bulog untuk mengendalikan harga sebatas beras.

Tata niaga makin merugikan petani ketika LoI pada 24 Juni 1998 dalam butir 16 menyebutkan pemerintah harus membebaskan tata niaga pangan termasuk kedelai dengan tarif bea masuk (BM) 0 persen, padahal sebelumnya tarif BM impor 20 persen (1997). Sejak saat itu, Bulog dan swasta mendapat peran sama dalam importasi dan pemasaran.

Tekanan belum berakhir. Deregulasi tata niaga kedelai itu melahirkan importir-importir kedelai besar. Berbagai kemudahan juga diberikan kepada importir, seperti dalam mendatangkan kedelai melalui sistem pembiayaan penjaminan, collateral management agreement (CMA).

Mekanismenya importir menandatangani perjanjian jual-beli komoditas melalui bank. Selanjutnya importir membayar uang muka yang disepakati sekitar 10-20 persen. Kemudian bank menunjuk penyurvei di gudang penerima melalui rekomendasi pemasok dari luar negeri.

Pemasok di luar negeri akan mengirim barang sebanyak volume yang diperjualbelikan dan dikirim ke gudang importir. Bank lalu membayar 100 persen kepada penyalur dengan komoditas itu sebagai jaminan.

Importir menjual barang secara bertahap sesuai permintaan. Jumlah yang dibayar ke bank sesuai volume kedelai yang ditebus. Harga jual ditetapkan mengikuti harga Chicago Board of Trade. Sementara itu, Mari Elka Pangestu mengatakan, pemerintah tak bisa membuat harga komoditas pangan domestik jauh lebih rendah dari harga internasional.
(MAS/DAY/OSA/EKI/MDN/MHF/ DYA/YOP/HLN/YNT/ELD/ MKN/AHA/THT/CHE)

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.01.23.04192114&channel=2&mn=3&idx=3

No comments: