28 January 2008

Tempo 11-17-Jun-07: Para Raja Kecap Bersabda

Edisi. 16/XXXIIIIII/11 - 17 Juni 2007
  
Ekonomi dan Bisnis

Para Raja Kecap Bersabda

ABC dan Bango berebut posisi kecap nomor satu negeri ini. Berbagai siasat dilakukan.

Untuk sebotol kecap, segala cuaca pasti ditempuh. Bagi Fatina Djihan saat menuntut ilmu di University of Leeds, Inggris, empat tahun lalu, dia pasti rela naik bus selama satu jam ke Manchester hanya untuk membeli sebotol kecap produksi Indonesia.

Maklum, kecap manis adalah menu wajibnya setiap kali makan. ”Rasanya seperti makan di rumah,” ujar tenaga pengajar di sebuah universitas swasta di Jakarta ini. Kebetulan, menurut Fatina, 33 tahun, merek kecap yang ditemui di kawasan Chinatown di Manchester itu sama dengan merek yang dikonsumsi keluarganya.

Tak mudah bagi kecap manis asli Indonesia untuk tiba ke tangan pelanggan setianya di luar negeri macam Fatina. Selain butuh jaringan yang luas, biayanya pun tak sedikit. Namun, dengan strategi bisnis yang tepat, distribusi ke mancanegara tak lagi jadi soal. 

Perang strategi bisnis itulah yang dilakukan oleh dua produsen kecap manis asal Indonesia, ABC dan Bango, yang kini bersaing ketat mengejar posisi puncak. Yang satu pemain senior dengan merek kuat dengan konsumen setianya. Yang lain, pemain baru yang sukses mendongkrak penjualannya hingga kini. 

Simak data terbaru Single Source Survey dari lembaga riset pasar asal Australia, Roy Morgan Research. Sepanjang April 2006 hingga Maret 2007, pembelian kecap ABC partai besar mengalami penurunan dari 51 menjadi 41 persen. Sebaliknya, penjualan kecap Bango dalam kurun waktu yang sama naik dari 19 menjadi 21 persen. 

Menurut riset lembaga riset pasar Euromonitor International, pada 2001, ABC menguasai 40 persen dari total penetrasi pasar (market share) kecap di Indonesia sebesar Rp 1,6 triliun. Namun, pada 2005, posisinya menurun hingga 33 persen dari total pasar yang mencapai Rp 3 triliun. Sebaliknya, pangsa pasar kecap Bango tetap stabil selama 2001–2005, yakni sebesar 32 persen. ”Ini perang bisnis antara dua merek yang sudah kuat,” kata pengamat bisnis dari MarkPlus Institute of Marketing, Yuswohady.

Kecap manis ABC sebetulnya bukan pemain baru di dunia kecap nasional (lihat ABC, Setelah 32 tahun). Februari 1999, saham mayoritas pendiri kecap yang terdiri atas tujuh varian ini dibeli oleh HJ Heinz Co., perusahaan kecap yang berpusat di Pittsburg, Amerika Serikat. Tak lama kemudian, nama perusahaan pun berubah menjadi PT Heinz ABC Indonesia. 

Lewat bendera barunya, kecap ABC mengalami perubahan teknologi informasi, proses pembuatan, dan jaringan pasar internasional. Hasilnya, angka penjualan tahunan kecap ABC dunia tak bergeser dari US$ 100 juta atau Rp 897 miliar, dengan kontribusi utama dari Indonesia. ”Sejauh ini, kami masih memimpin pangsa pasar di Indonesia,” kata Direktur Pemasaran PT Heinz ABC Indonesia, Iriana Ekasari Muazd.

Tak mau kalah, Unilever Indonesia pun mengakuisisi produk Kecap Bango pada 2001 (lihat Si Bango yang Terbang Jauh). Di tangan perusahaan multinasional ini, Kecap Bango tumbuh pesat lewat pemasaran modern. Kini, penjualan tahunannya mencapai Rp 500 miliar. Kecap Bango pun melebarkan sayap hingga ke Asia Tenggara dan Arab Saudi. ”Negara lain sudah banyak yang melirik Bango,” kata Manajer Senior Bango, Heru Prabowo. 

Bendera perang pun makin berkibar. Setelah akuisisi dan joint venture, berikutnya adalah peremajaan produk. Mulai Februari tahun ini, Kecap Bango menyegarkan logo burung bangaunya dan mengubah merek dagang dari ”Kecap Bango” menjadi ”Bango”. Unilever pun mengeluarkan kecap Bango kemasan sachet seharga Rp 300 per satuan, untuk menjangkau masyarakat kelas bawah. ”Namun, belum tersebar di seluruh Indonesia,” kata Dicky Saelan, Manajer Pemasaran Divisi Makanan PT Unilever Indonesia Tbk. 

Seminggu setelah Bango berganti baju, ABC pun tampil lebih segar dan modern, walau tanpa mengubah logo dan merek. Menurut Iriana, perubahan ini dilakukan bukan karena latah, melainkan ”sudah dipersiapkan sejak setahun lalu”.

Perang pun berlanjut lewat promosi langsung dengan konsumen (below the line). Tayangan program televisi ”Bango Cita Rasa Nusantara” masih dipertahankan, bahkan kontraknya terus diperpanjang. Jurus jitu lainnya, menggelar acara ”Festival Jajanan Bango” yang tahun ini memasuki tahun ketiga. Diselenggarakan di beberapa kota besar, acara ini terbukti sukses menggaet penikmat baru kecap Bango. 

Heinz ABC Indonesia tak tinggal diam. Lewat program ABC Culinary Academic, dicetaklah penasihat masakan (cooking advisor) hasil didikan juru masak ABC. Nantinya, penasihat ini akan ditempatkan di gerai penjualan kecap ABC untuk memberi tips membuat masakan lebih sedap. Juru masak ABC pun iklan paling tokcer. Mereka siap diundang demo masak secara cuma-cuma dengan menggunakan kecap ABC. 

Persaingan kedua merek ini paling kentara lewat promosi media (above the line), sebab kedua perusahaan besar ini tak pelit mengeluarkan dana untuk beriklan. Pemantauan Nielsen Media Research pada 2006, Unilever menghabiskan dana Rp 23 miliar untuk promosi kecap Bango. Sedangkan Heinz ABC Indonesia membayar Rp 22 miliar untuk belanja iklan kecap ABC. 

Hasilnya, Bango memang bukan pemimpin pasar. ”Tetapi dia memimpin emosi sehingga lebih dikagumi pelanggan,” tutur Yuswohady. Dampaknya, brand equity Bango pun semakin kuat. 

Untuk melawan balik Bango, Yuswo punya solusi. ”Jangan terpancing,” katanya. ABC harus tetap memelihara kepercayaan dirinya sebagai pemimpin pasar. Karena jebakan paling mematikan bagi ABC adalah menjadi pengikut dan mengikuti aturan baru yang diciptakan Bango. 

DA Candraningrum

http://www.tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/arsip/2007/06/11/EB/mbm.20070611.eb3.id.html

No comments: