18 January 2008

Bisnis 18-Jan-08: Mungkinkah Harga Kedelai Diturunkan

Jumat, 18/01/2008

Mungkinkah harga kedelai diturunkan


Sejarah perkedelaian Indonesia mencatat, impor kedelai pertama kali dilakukan pada 1928. Komoditas itu didatangkan dari China. Jumlahnya tidak banyak, sekitar 63.000 ton per tahun, tulis laporan Bokhuis dan Von Libbenstein (1932).


Namun, saat resesi ekonomi dunia terjadi pada 1934 dan menyebabkan melonjaknya harga kedelai global, imbas pun terjadi pada stabilitas harga di dalam negeri. Terutama produk tempe dan tahu yang kala itu baru banyak digemari di Jawa.

Tangan besi kolonialisme Belanda bertindak. Mereka langsung melarang impor kedelai, dan sebagai penggantinya dibuat program peningkatan produksi komoditas itu di dalam negeri.

Waktu itu, faktor populasi masih mendukung. Penduduk masih sedikit dan lahan terbentang luas. Program peningkatan produksi pun disokong dengan membagi benih gratis. Meskipun produktivitas hanya 6 kuintal per hektare, kebutuhan kedelai bisa dipenuhi hingga 1950-an.

Defisit pasokan kedelai kembali terjadi pada awal 1960-an. Pemerintah Orde Lama pun mencanangkan program Semesta Berencana untuk meningkatkan produksi kedelai pada 1964.

Pada 1950-1975, jumlah konsumen komoditas itu� masih sedikit, yakni Jawa, Madura dan Sunda, sehingga kendati masih impor, Indonesia sempat mencatat ekspor di kala surplus kedelai.

Selanjutnya 'demam impor' kedelai mulai muncul lagi pada 1975 hingga kini. Pada 1975-1980 impor kedelai sekitar 150.000-280.000 ton per tahun. Impor itu melonjak pada 1980-1990 menjadi 500.000-800.000 ton per tahun. Pada 1991-2000 impor kedelai terus naik menjadi 900.000-1,5 juta ton per tahun. (lihat tabel)

Diperkirakan permintaan kedelai pada 2010 mencapai 3,87 juta ton, sehingga impor bakal menembus angka tiga juta ton per tahun apabila laju produksi sama dengan saat ini atau cenderung merosot.

Ketergantungan impor kedelai saat itu disebabkan oleh instrumen perdagangan yang meniadakan bea masuk impor (BM) alias 0%. Selain BM 0%, pemerintah juga menerapkan tata niaga kedelai yang impornya dimonopoli Bulog.

Saat kebijakan tata niaga dicabut pada era reformasi dan BM dinaikkan menjadi 10% pada 2002, tindakan itu sudah terlambat. Skenario pencabutan tata niaga kedelai-dan juga komoditas lain-terlebih dulu daripada menerapkan BM impor sebenarnya diatur Dana Moneter Internasional (IMF) guna memberikan candu bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia.

Multinasional

Setelah monopoli impor dicabut, akhirnya pihak swasta pun ramai-ramai menjadi trader. Namun, trader swasta lokal tidak bertahan lama. Jika bertahan lama, itu hanya sebuah nama di mana ada perusahaan multinasional di belakangnya.

Ketergantungan impor kedelai yang membahayakan stabilitas pangan-terutama sebagai bahan baku industri turunan komoditas itu-mulai dirasakan pada 2000. Namun, respons baru dilakukan pada 2002. Itu pun hanya menerapkan BM impor sebesar 10%. 

Padahal, usulan Deptan kala itu, untuk merangsang petani menanam kedelai BM impornya harus sebesar 27%, dengan alasan harga kedelai lokal waktu itu lebih mahal Rp950 per kg dari kedelai impor (Rp1.890 per kg). 

Tak kurang akal. Ketika pemerintah menerapkan BM impor kedelai sebesar 10%, negara eksportir pun berlomba-lomba memberikan kemudahan kepada importir berupa kredit ekspor dan L/C yang mempunyai tempo mundur dengan grace period yang panjang. Akibatnya, trader telanjur masuk, dan negara pun telanjur sakau (tergantung) dengan kedelai impor. 

Namun, titik balik dari itu semua adalah pecahnya puncak gunung es awal pekan ini. Pengusaha tahu dan tempe mogok produksi serta menggelar aksi demo.

Mereka tidak kuat dengan harga bahan baku yang semakin mencekik leher akibat naiknya harga dunia kedelai setelah Amerika Serikat, selaku eksportir terbesar komoditas itu produksinya berkurang karena petaninya memilih menanam jagung sebagai bahan biodiesel.

Pemerintah RI kalang kabut. Presiden pun turun gunung. Dan BM impor dikembalikan ke 0%. Kebijakan itu sebenarnya tidak sepadan dengan harga kedelai yang di kisaran Rp7.500-Rp8.000 per kg. 

Jadi, potongan harga-kalau toh bisa-dari penurunan BM hanya sekitar Rp500-Rp700 per kg. Masih mahal dibandingkan dengan harga kedelai di pengujung 2007 yang di kisaran Rp4.000 per kg.

Uniknya, pada saat sidang kabinet terbatas di Departemen Pertanian Selasa lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malah menyatakan akan berkompromi dengan importir kedelai dan memohon kesadarannya untuk menurunkan harga sebagai imbal balik pemangkasan BM.

Kemudian Dirjen Bea Cukai ditugasi memanggil importir (Selasa). Tiga importir besar pun datang. Di antaranya PT Gerbang Cahaya Utama dengan persentase impor kedelai sebesar 64%, Cargill Indonesia (18,18%) dan Alam Agri Perkasa (13%). 

Hari berikutnya, Deptan dan Depdag kembali memanggil importir kedelai. Mereka berunding mengenai harga ideal. Kali ini yang datang empat importir, yakni Cargill Indonesia, Gerbang Cahaya Utama, Gunung Sewu dan Sekar Makmur.

Namun, dalam pertemuan ke dua juga belum ada titik temu. Karena Depdag belum punya rumusan harga ideal. Sementara itu, importir juga belum bisa menyanggupi kapan dan harga berapa kedelai distabilkan.

Menurut Public Affairs Department Cargill Indonesia Susi Hutapea, pihaknya sanggup mengamankan distribusi dan mengeluarkan barang asalkan sesuai harga pasar. Namun, jika dipaksa untuk memangkas harga terlalu besar, pihaknya lebih baik melempar barangnya di luar negeri.

"Kami tidak memainkan harga, penjualan sesuai hukum pasar. Jika ada tuduhan kartel, tolong dibuktikan. Kami bisa membantu menstabilkan harga, tetapi tidak jauh dari harga pasar [Rp7.200 per kg] atau memangkas margin," ujarnya.

Tampaknya importir masih keberatan untuk memangkas marginnya. Pertanyaan di sini, seberapa hebat sih importir kedelai ini, sehingga pemerintah terkesan'takut' dan tidak 'tegas' kepada mereka. Kan tinggal cabut saja izin impornya jika mereka benar-benar memainkan harga (kartel). Atau apabila menimbun barang, seret saja ke pengadilan. Atau, memang pemerintah tidak punya alat atau cara untuk menekan harga komoditas yang dekat dengan masyarakat lapisan bawah ini? (redaksi@bisnis.co.id)

Oleh Hendri T. Asworo
Kontributor Bisnis Indonesia

bisnis.com

No comments: