20 January 2008

Kompas 18-Jan-08: Kedelai Lokal Ternyata Anak Tiri

Berita Utama
 Jumat, 18 Januari 2008

Nasib Petani
Kedelai Lokal Ternyata Anak Tiri

Antony Lee dan Hendriyo Widi

Mbah Harjo (80) cepat-cepat menutup tumpukan kedelai yang baru dipanennya dengan terpal ketika hujan turun deras, Kamis (17/1) siang. Warga Desa Gunung, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, ini sudah tak sabar menjual kedelai miliknya lantaran harga jual sedang tinggi, hampir dua kali lipat dari harga jual tahun lalu.

Laki-laki bernama lengkap Harjo Sukirno ini rutin menanam kedelai di lahan 1.000 meter persegi miliknya. Bertahun-tahun ia setia menanam kedelai meski harga jual kedelai lebih sering tak imbang dengan biaya tanam.

Tahun lalu, misalnya, ia mengeluarkan Rp 20.000 untuk membeli 5 kilogram bibit. Belum obat pembasmi hama. Dari bibit itu, hasilnya kedelai enam gojok, sekitar 42 kilogram (kg) kedelai. Setiap gojok laku terjual Rp 27.000. Total ia hanya mendapat sekitar Rp 162.000 untuk kerja merawat kedelai sekitar empat bulan. "Sebenarnya rugi, tapi saya ini tani bukan pedagang. Yang penting hasilnya ada. Kalau hasil tani laku, ya senang."

Saat harga kedelai naik tajam hingga Rp 7.500 per kg, Mbah Harjo ikut senang. Hampir setiap hari ia menonton televisi untuk mengikuti perkembangan harga. Meski hasil kedelainya tahun ini tak terlalu banyak, sekitar 35 kg, ia tetap senang.

Kenaikan harga kedelai membuat Mbah Harjo menjadi perhatian warga petani sekitarnya yang telah meninggalkan tanaman kedelai. "Hanya cukup pembeli bumbu dapur," kata Mbah Harjo.

Slamet Raharjo (54), warga RT 11 RW 4 Dukuh Gunung, Boyolali, musim tanam ini juga mulai menanam jagung di lahan 4.000 meter persegi. Selain jagung, ia menanam singkong dan kedelai. Untuk kedelai, ia hanya menyebar 1 kg benih dengan hasil sekitar 14 kg. Tahun lalu ia memperoleh hasil delapan gojok kedelai. Dengan harga Rp 4.000 per kg, ia memperoleh Rp 224.000.

Kondisi ini berbeda dengan salah satu sentra pertanian kedelai di Kabupaten Grobogan, Jateng. Ny Khoirun (40) tersenyum lega setelah menerima Rp 3.720.000 dari pengepul kedelai. Saking gembiranya, warga Desa Lodran, Kecamatan Pulokulon, itu turut menggendong beberapa karung kedelai ke atas truk.

Setelah menggendong kedelai ke truk, Ny Khoirun terengah-engah di depan pintu rumah. "Bungah, Mas. Sak kilo, delene payu Rp 6.200. Tahun wingi mung payu Rp 3.200 (Rasanya senang sekali, Mas. Satu kilogram kedelai laku Rp 6.200. Tahun lalu hanya laku Rp 3.200 per kg)," kata Ny Khoirun.

Ny Khoirun dan suaminya bersyukur karena tidak semua tanaman kedelainya kebanjiran. Tahun ini lahan sekitar 1 hektarnya membuahkan 6 kuintal kedelai jenis Malabar versi Grobogan. Ny Khoirun berharap harga kedelai tahun depan lebih tinggi. Tapi ia juga minta agar pemerintah memerhatikan kedelai dari desa, bukan hanya kedelai dari luar negeri.

Kegembiraan dan harapan juga dilontarkan Irshan (40), petani Desa Jetaksari, Kecamatan Pulokulon. Kedelainya laku Rp 6.500 per kilogram.

Bagi Irshan, selama ini pemerintah menganaktirikan kedelai lokal. Saat kedelai impor mahal dan sulit dicari, pemerintah kebingungan. Saat harga kedelai lokal naik dan produksi berkurang, pemerintah diam saja.

Padahal, menurut Sekretaris Kelompok Tani Kabul Lestari Ali Muctar, kedelai lokal, yaitu kedelai Malabar versi Grobogan, tak kalah dari kedelai impor. Produksi kedelai itu per hektar dapat mencapai 3-3,5 ton, berbeda dengan kedelai lain hanya 2-2,8 ton per hektar.

Hasil terbaik panen kedelai Malabar versi Grobogan berada di Desa Panungalan, Kecamatan Pulokulon. Kelompok Tani Kabul Lestari yang total luas lahannya 56 hektar, misalnya, dapat memproduksi rata-rata 3,148 ton kedelai per hektar. Tahun lalu produksi kedelai hanya 3,032 ton per hektar.

Wakil Bupati Grobogan Icek Baskoro mengemukakan, sejak Desember 2007 hingga pertengahan Januari 2008, petani kedelai Grobogan panen raya atas lahan 10.000 hektar lebih. Diharapkan panen raya menghasilkan 13.831 ton kedelai dan mendongkrak harga kedelai lokal rata-rata Rp 5.000 per kg.

Ini penting karena kedelai menempati produk unggulan pertanian ketiga setelah padi dan jagung di Grobogan. Pemerintah Kabupaten Grobogan tengah mengupayakan agar benih kedelai Malabar bersertifikat. (WHO)


http://www.kompascetak.com/kompas-cetak/0801/18/utama/4173463.htm

No comments: