20 January 2008

Kompas 18-Jan-08: Penelitian Jangan Cuma Jadi Catatan

Nusantara
 Jumat, 18 Januari 2008

Penelitian Jangan Cuma Jadi Catatan

Enong (49), pedagang sekaligus produsen tahu, duduk menyangga dagu di Pasar Cihaurgeulis, Kota Bandung, Jawa Barat. Enong sedang mengingat-ingat tahun 1994 saat pertama kali memproduksi tahu. Kala itu, ia menggunakan kedelai lokal dari Cianjur dan Garut.

"Hasilnya bagus dan enak lagi. Tidak tahu kenapa, kedelai lokal kemudian susah ditemukan," kata Enong.

Sudah sekitar 10 tahun ia menggunakan kedelai impor asal Amerika Serikat yang kini harganya tak menentu. Pada Juni 2007 masih Rp 3.500 per kilogram (kg), saat ini terus meroket hingga mencapai Rp 7.500.

Sejak awal Januari, Enok sibuk menghitung keuntungan yang makin menipis. "Saya dan suami terus berpikir, pabrik tahu kami sebaiknya ditutup atau dilanjutkan," ujar Enong.

Ia berharap, agar perekonomian rakyat stabil, pemerintah meningkatkan pertanian kedelai lokal. "Tahu dan tempe makanan rakyat. Saya harap kedelai lokal banyak lagi di pasar agar kita tidak bergantung pada kedelai impor. Harga untuk petani kedelai jangan ditekan karena mereka juga butuh makan. Kita bekerja sama saling menguntungkan saja," katanya.

Harapan yang sama juga dinyatakan Tari (28), pekerja di pabrik tempe Arema, Bandung. Tari mengatakan, pada 1967 nenek dan kakeknya membangun pabrik. Hingga 1990-an, mereka membuat tempe dari kedelai lokal. "Saya pernah mencoba makan tempe dari kedelai lokal. Lebih enak dan gurih, tetapi bulir kacangnya memang lebih kecil, jadi kurang terlihat," kata Tari.

Menurut Wim (75), pelanggan tempe Arema yang sering bolak-balik Indonesia–Amerika Serikat, sebagai vegetarian sudah 20 tahun ia tidak bisa melepaskan diri dari tempe. Ia kagum melihat pertanian kedelai sepanjang California hingga Washington. Ia berpendapat, di Indonesia banyak lahan tidur. Mungkin ada sebagian lahan tidur yang bisa ditanami kedelai. Karena hampir semua orang Indonesia makan tempe dan tahu, Wim yakin pertanian kedelai Indonesia harus maju.

Pengganti kedelai

Prof Dr Imas Siti Setiasih, ahli Teknologi Pangan dan Gizi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, mengemukakan, tempe dan tahu merupakan sumber protein yang enak dan murah. Asam amino dalam tempe dan tahu mirip dengan daging.

Protein dibutuhkan oleh tubuh sebagai zat pembangun. Bagi orang tua, protein berguna untuk regenerasi sel, sementara bagi anak-anak protein berguna untuk pembentukan sel baru. Fungsi protein begitu besar bagi tubuh.

Imas menambahkan, jika kedelai cukup mahal, masih banyak penghasil protein lain dari kacang-kacangan. Di antaranya adalah kacang hijau, kecipir, dan kacang koro.

Di laboratorium Fakultas Pertanian Unpad, ketergantungan terhadap kedelai impor sudah diantisipasi dengan membuat alternatif tempe dan tahu dari campuran kedelai dan kacang-kacangan lainnya.

Salah satu yang telah berhasil dilakukan adalah membuat tahu dan tempe dari campuran 60 persen kedelai dan 40 persen kacang koro, 70 persen kedelai dan 30 persen kecipir, serta kurang dari 50 persen kacang hijau dan kedelai.

Imas mengatakan, unsur gizi dalam kedelai lokal ataupun impor sama saja. Hanya bulir kedelai impor lebih besar sehingga lebih menarik. Untuk menghasilkan kedelai lokal dengan bulir besar, tetap bisa diupayakan. Di fakultasnya, penelitian mengenai pertanian kedelai tak pernah berhenti. Kedelai lokal dan impor terus dikawinkan. Hasilnya pun cukup baik.

"Saya harap pemerintah bisa mengupayakan kesejahteraan rakyat, bekerja sama dengan perguruan tinggi. Banyak hasil penelitian yang bisa diterapkan. Jangan sampai hasil penelitian, seperti kedelai, hanya selesai sebagai catatan," kata Imas. (Yenti Aprianti)


http://www.kompascetak.com/kompas-cetak/0801/18/daerah/4173384.htm

No comments: