26 January 2008

Kompas 24-Jan-08: Awas Kedelai AS Masuk dengan CLQ

Awas Kedelai AS Masuk dengan CLQ
KOMPAS/RIZA FATHONI / Kompas Images
Perajin tempe di sentra produksi tahu-tempe Tegal Parang, Mampang, Jakarta, mengolah kedelai untuk dibuat menjadi tempe, Minggu (20/1). Sebagian pengusaha tempe di kawasan tersebut yang memiliki tempat usaha sendiri masih berusaha bertahan dengan margin yang sangat pas-pasan karena kenaikan drastis harga kedelai yang diimpor dari Amerika. Sementara pengusaha yang menyewa tempat terpaksa gulung tikar karena tidak sanggup membayar uang sewa.
Kamis, 24 januari 2008 | 02:33 WIB

Hermas E Prabowo

Dulu susu, sekarang kedelai... lalu apa lagi? Pertanyaan bernada sinisme itu terlontar dari seorang ibu rumah tangga di Bintaro, Jakarta Selatan. Ia memang pantas gelisah. Pasalnya, satu demi satu benteng pertahanan pangan bangsa ini runtuh. Padahal, 19 tahun lalu ada kenangan manis yang dirasakan peternak.

Ketika itu peternak sapi perah nasional menikmati kegembiraan luar biasa. Harga susu segar peternak rakyat dibeli oleh industri pengolahan susu (IPS) dengan harga 300 persen lebih tinggi dari harga semula.

Kegembiraan peternak saat itu tidak bisa lepas dari peran Menteri Muda Urusan Koperasi merangkap Kepala Bulog. Ketika itu pemerintah bertekad meningkatkan produksi susu lokal —sebagai sumber protein hewani—untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.

Namun apa daya, produksi susu nasional saat itu baru memenuhi 5-10 persen kebutuhan masyarakat Indonesia sekitar 500.000 ton susu. Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Budiyana, Rabu (23/1), mengungkapkan, untuk mendongkrak produksi susu nasional, pemerintah membuat gebrakan.

Wujudnya, pada 1979-1983 pemerintah mengimpor sapi perah jenis frisian holstein (FH) sebanyak 80.000 ekor dari Australia dan Selandia Baru.

Dengan kebijakan peningkatan produksi susu nasional, sekali dayung pemerintah mendapat banyak keuntungan, yakni peningkatan kesejahteraan peternak, kebangkitan ekonomi pedesaan, pengembangan industri minuman, dan peningkatan gizi masyarakat. Sementara pengangguran dapat ditekan.

Setelah mengimpor sapi, waktu itu Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Pertanian, dan Menteri Perindustrian menandatangani surat keputusan bersama yang mewajibkan IPS membeli susu segar jika akan impor.

Titik balik kehancuran susu berawal ketika pemerintah menandatangani letter of intent (LoI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF).

IPS tidak memiliki kewajiban lagi membeli susu peternak. Mereka memang berkomitmen untuk tetap menyerap susu petani, tapi bagaimanapun mekanisme pasar telah memberikan pilihan bagi industri susu untuk mengimpor susu karena lebih murah.

Peternak tak lagi memiliki posisi tawar kuat dan pemerintah pun tak bisa berbuat banyak. Peternak susu perlahan bangkrut. Produksi susu jatuh dan dominasi susu impor terjadi.

Ambruknya produksi susu nasional terjadi ketika peran industri susu multinasional semakin kuat dalam bisnis susu di Indonesia.

Krisis bahan baku susu terjadi ketika Australia dan Selandia Baru dilanda kekeringan tahun 2006. Produksi susu Australia sebagai pemasok utama susu ke pasar Indonesia turun.

Harga susu melambung, sementara pemerintah tak berdaya. Konsumen susu dalam negeri langsung dihadapkan pada fluktuasi harga susu dunia.

Apa yang terjadi pada susu tidak beda jauh dengan kedelai. Pemerintah menggenjot produksi kedelai hingga 1,8 juta ton pada 1992 dengan menjalankan berbagai program peningkatan produksi seperti Crash Program Pengapuran, Upaya Khusus Kedelai, dan Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, Jagung.

Pascapenandatanganan LoI antara IMF dan pemerintah produksi kedelai hancur. Petani kedelai terus berproduksi, tetapi tidak ada jaminan untung.

Setelah ”dipaksa” melepas intervensi tata niaga komoditas pertanian, pemerintah juga harus menurunkan bea masuk impor kedelai dari 20 persen menjadi nol persen.

Sebagai ”imbalannya”, AS mengekspor kapas ke Indonesia untuk menyelamatkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Kasus CLQ

Beberapa waktu lalu, Pemerintah AS juga menawarkan strategi serupa untuk memasukkan produk ayam potongan (chicken leg quarter/CLQ), seperti paha dan sayap ayam.

AS harus memperjuangkan ekspor CLQ ke Indonesia karena produksinya terus meningkat dan CLQ di AS nilai ekonomis rendah. Ekspor produk ayam AS tahun 2004 mencapai 2,163 juta ton, 60 persen di antaranya berupa CLQ.

Negara-negara yang menjadi sasaran ekspor CLQ dari AS antara lain Rusia, Jepang, China, Arab Saudi, dan beberapa negara Eropa. AS perlu terus mencari pasar baru dan Indonesia salah satu sasarannya.

Karena itu, dalam strategi diplomasi perdagangan AS-Indonesia, CLQ selalu menempati ”daftar tunggu”. Persoalan CLQ selalu muncul dalam bisnis unggas di AS karena konsumen AS selektif.

Mereka tak mau mengonsumsi potongan ayam, seperti paha bawah dan sayap, karena dianggap makanan binatang.

Saat ini, peluang AS untuk memasukkan CLQ ke Indonesia muncul lagi ketika Indonesia terperangkap krisis kedelai. Pemerintah sendiri ”angkat tangan” karena tak bisa menurunkan harga kedelai jauh dari harga di pasar dunia.

Memberikan subsidi harga untuk menjamin kebutuhan kedelai lebih murah juga berat karena tak ada anggaran dalam APBN 2008. Dana yang dibutuhkan untuk meng-cover kebutuhan subsidi kedelai hingga enam bulan ke depan sekitar Rp 200 miliar.

Sementara perajin tahu-tempe mendesak penurunan dan stabilitas harga kedelai agar terlepas dari kebangkrutan. Di sisi lain, AS merupakan produsen kedelai utama di dunia.

Kedelai yang diperdagangkan di pasar dunia sekitar 50 persennya dari AS. Karena itu, bukan tidak mungkin AS akan menawarkan kedelai murah ke Indonesia dengan mekanisme dumping untuk sekadar mencari cara agar mereka bisa memasukkan CLQ ke Tanah Air.

Apalagi saat ini harga produk unggas di Indonesia juga mahal akibat tekanan harga pakan. Melihat peluang AS itu sudah saatnya pemerintah mewaspadainya.

Apalagi kebijakan Menteri Pertanian soal impor bubur daging (mechanically deboned meal/MDM) yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 61 Tahun 2007 memberi ”angin segar” bagi negara lain untuk mengimpor ayam dalam kondisi tidak utuh.

Padahal, dari syarat aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) yang diterapkan pemerintah untuk menghindari tekanan masuknya CLQ dari AS, hanya syarat ”utuh” yang paling ampuh.

Celah ini kalau tidak ”ditutup” rapat bisa menjadi alasan bagi AS untuk menekan Indonesia agar menerima CLQ dengan jaminan harga kedelai murah. Kalau itu sampai terjadi, satu lagi gerbang pertahanan pangan bangsa ini ambruk karena jutaan peternak unggas bakal bangkrut.

No comments: